Sekolah memang berbeda dengan pasar. Tapi, jumlah orang yang berada di dalamnya dapat saja sebanding. Atau bahkan, lebih banyak yang berada di sekolah.
Di sekolah tempat saya mengabdi, misalnya, ada 798 siswa. Belum terhitung guru dan tenaga kependidikan (GTK). Artinya, di sekolah, tentu pada hari-hari efektif, banyak dihuni orang.
Dan, kita mengetahui bahwa selama berada di sekolah, siswa dan GTK (warga sekolah) hampir dapat dipastikan memproduksi sampah harian. Sehingga, selalu ada sampah setiap hari. Baik yang anorganik maupun organik.
Jumlah satuan sampah dapat saja berbanding lurus dengan jumlah warga sekolah. Kalau pun ada selisih, tentu tak terlalu jauh berbeda.
Mungkin lebih banyak sampahnya. Atau, dapat saja lebih sedikit sampahnya. Selisih itu didapat dari membandingkan  jumlah satuan sampah dengan warga sekolah.
Melihat faktanya, sampah di sekolah tergolong banyak setiap harinya. Toh dalam konteks ini, yang disebut banyak, kami belum pernah menghitungnya.
Tapi, sekadar melihat saja, kami (langsung) dapat mengatakan bahwa (memang) banyak jumlahnya.
Itu sebabnya, langkah kecil untuk menjaga lingkungan dari limbah domestik di sekolah sudah dan selalu dilakukan. Misalnya, di sekolah --ini saya kira di semua sekolah-- dibentuk petugas piket kelas. Petugas piket kelas bertugas menjaga kebersihan kelas.
Selain itu, mungkin juga  menyiapkan sarana tambahan penunjang proses pembelajaran. Misalnya, menyiapkan spidol dan penghapus, mengisi spidol yang habis tintanya, dan menghapus papan tulis. Ini beberapa tugas piket dalam aksi pembelajaran.
Tugas piket dalam aksi menjaga kebersihan kelas harus terus dikawal. Sebab, sektor ini bersentuhan dengan sampah. Dan, tak mudah orang mau bersentuhan dengan sampah. Lebih banyak mereka menghindarinya.