Frugal living sudah menjadi tema penting dalam kehidupan masyarakat di bumi pertiwi sejak dulu kala, sejak saya masih kanak-kanak. Di sekolah, tema tersebut sangat kentara. Dan, hal itu, hingga kini masih berlangsung.
Ketika anak-anak mendaftar sekolah, sebagai siswa baru, misalnya, sudah diarahkan oleh sekolah memasuki gaya hidup hemat, hidup sederhana. Diberlakukannya seragam sekolah bagi siswa adalah salah satu praktik baik frugal living di sekolah.
Seragam merah-putih untuk siswa sekolah dasar (SD). Seragam biru-putih bagi siswa sekolah menengah pertama (SMP). Dan, seragam abu-abu-putih untuk siswa sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK).
Seragam tak hanya berkaitan dengan atasan (baju) dan bawahan (celana atau rok). Tapi, juga berkaitan dengan sepatu, kaus kaki, ikat pinggang, dan beberapa hal sejenis lainnya untuk siswa. Juga termasuk seragam olahraga.
Yang saya sebutkan di atas lebih mengarah ke siswa di sekolah-sekolah negeri. Siswa di sekolah-sekolah swasta sangat mungkin ada kebebasan.
Tapi, sejauh saya mengetahui, perihal seragam atasan dan bawahan cenderung sama dengan siswa di sekolah-sekolah negeri. Terkait dengan sepatu, kaus kaki, dan ikat pinggang, misalnya, siswa di sekolah-sekolah swasta lebih merdeka.
Sekalipun ada juga (sebetulnya) siswa di beberapa sekolah swasta yang diberi kebebasan oleh sekolah dalam hal berpakaian. Terutama, sekolah swasta yang berada di perkotaan, yang umumnya siswanya berasal dari keluarga menengah ke atas.
Siswa putri, baik di sekolah negeri maupun swasta, tak boleh mengenakan perhiasan. Sebab, perihal perhiasan selalu dikaitkan dengan gender wanita. Tentu hal tersebut tak berarti siswa putra dibolehkan memakai perhiasan. Tak boleh juga.
Siswa putri, yang selama ini kita melihatnya, hanya memakai anting-anting. Itu pun tak  berupa perhiasan yang mewah, artinya tak selalu emas dan sejenisnya.
Kalaupun emas, sudah pasti tak memikat mata, dari sisi ukuran atau bentuk, biasa-biasa saja. Kita pun mengetahui bahwa memakai anting-anting bagi siswa putri sebagai tradisi yang bersifat turun-temurun.