Perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) dapat dirasakan dan dinikmati oleh siapa pun. Termasuk anak-anak. Di kalangan anak-anak, TIK ternyata tak hanya untuk kepentingan menemukan informasi (sumber belajar) dan berkomunikasi (koneksi sosial), tapi juga untuk bisnis.
Saya menemukan beberapa siswa di sekolah tempat saya mengajar yang melakukan bisnis akun game online (yang selanjutnya disebut akun game). Kali pertama saya menemukannya (justru) karena ada salah satu orangtua siswa yang curhat kepada saya.
Orangtua tersebut menyatakan bahwa dirinya sudah acap kali menasihati anaknya. Tapi, anaknya tidak menanggapi. Si anak tetap menekuni game online. Orangtuanya sebatas mengetahui bahwa anaknya suka nge-game, tak bisnis akun game.
Di rumah, begini orangtua tersebut menyebutkan, anaknya tak dapat melepaskan gawai. Artinya, si anak terus-menerus memegang gawai. Mungkin saja --ini dalam imajinasi saya-- ia tak memegang gawai hanya saat mandi dan tidur.
Saya menandai orangtua yang curhat tersebut sebagai bukti bahwa ia belum menemukan cara efektif untuk menyudahi problem anaknya. Ia kehabisan akal. Mungkin dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa ia sudah bosan.
Orangtua yang curhat kepada guru (dalam hal ini saya) tentu didasarkan atas pemikiran bahwa guru dimungkinkan dapat memberi bantuan. Dan, tentu ini sah-sah saja. Sebab, guru yang mengajar dan mendidik anaknya setiap hari. Ada relasi yang dekat antara guru dan siswa.
Anda yang berprofesi sebagai guru, sudah pernahkah menemukan siswa Anda yang bisnis akun game? Jika sudah menemukan, berdampakkah terhadap aktivitas sekolahnya?
Jika belum menemukan, bukan berarti siswa Anda tak ada sama sekali yang bisnis akun game. Mungkin ada. Tapi, memang belum ketahuan. Oleh karena itu, silakan Anda bertanya kepada beberapa siswa Anda mengenai hal itu. Saya berani memastikan, Anda pasti menemukannya.
Sebab, di sekolah tempat saya mengabdi, yang boleh dibilang lokasinya berada di pinggiran (saja), sudah ada indikasi siswa yang bisnis akun game. Dan, selepas ada salah satu orangtua siswa yang curhat tentang anaknya yang bisnis akun game, akhirnya saya menemukan juga siswa-siswa lain yang memiliki "kesukaan" yang sama.
Bahkan yang terkini, saya menemukan siswa yang baru duduk di Kelas 7. Ketika saya mengajaknya membincangkan "kesukaannya" itu, ternyata ia sudah memulainya sejak di sekolah dasar (SD).