Di sebuah SMP reguler ditemukan seorang siswa yang memiliki kekhususan. Ia berbeda dengan teman-temannya. Secara fisik tidak terlihat perbedaan.
Tetapi, dalam hal bersikap, spirit belajar, dan berperilaku sangat berbeda. Misalnya, saat pembelajaran berlangsung, tetiba siswa tersebut keluar ruang kelas. Makan jajan di selasar kelas.
Guru yang sedang mengajar berusaha menasihati dan memersuasi, tetapi sering tidak berhasil. Akhirnya, ia dibiarkan saja menikmati aktivitasnya. Sementara temannya mengikuti pembelajaran di dalam kelas.
Tidak hanya seperti itu. Kadang-kadang menyebut guru tidak sesuai norma umum di daerah tempat saya berdomisili. Sebab, hanya menyebut nama. Bahkan, menyebut nama pun, tidak umum. Menyebut nama sesuai kemauannya.
Selain itu, beberapa kali saat gawai siswa harus dimasukkan di loker kelas sesuai kesepakatan saat pembelajaran, ia menolaknya. Seakan ia tidak mau lepas dari gawai.
Begitulah yang bisa dituliskan di sini. Melihat tanda-tanda seperti itu sudah semestinya siswa tersebut mendapat perhatian secara khusus. Tentu baik perhatian khusus di sekolah maupun di rumah. Dengan begitu, ia mendapat pengalaman belajar yang tepat.
Sedihnya, dikabarkan pula oleh beberapa guru bahwa uang sakunya dari orangtua lima puluh ribu rupiah per hari. Jumlah uang saku yang terlalu besar untuk anak SMP. Bahkan, untuk anak SMA/SMK dan yang sederajat, juga mahasiswa pun masih terlalu besar.
Berdasarkan temuan dan kabar (dari beberapa guru) tentang siswa tersebut dapat dilogika bahwa tumbuh kembangnya selama ini kurang terlayani melalui pendidikan secara tepat.
Jika layanan pendidikan yang selama ini diberikan terus dipertahankan, dapat dipastikan bahwa kompetensi (kognitif, psikomotorik, dan afektif) siswa tersebut tidak dapat mengalami tumbuh kembang secara optimal.
Siswa tersebut akan gagal dalam merintis masa depannya. Yang kita ketahui kemudian, kegagalan itu tidak hanya dialami olehnya. Tetapi, juga dialami oleh pihak lain, terutama orangtua dan keluarga.