Tak mungkin orangtua membela anaknya sekalipun itu kekhilafan guru, apalagi kalau tindakan guru itu karena kesalahan anak. Anak pasti mendapat tambahan pukulan dan marah orangtua.Â
Apa pun alasan terjadinya pemukulan terhadap siswa (baca: anak), orangtua pasti "menyalahkan" anak. Saya pernah mengalami hal seperti itu.
Mungkin saja, generasi seperti saya, yaitu generasi baby boomers, mengalami sendiri. Atau, setidaknya pernah melihat temannya yang mengalami peristiwa seperti yang saya alami waktu itu. Orangtua mengetahui anaknya dijewer guru, di rumah ditambahi dijewer.
Maka, rasanya tak ada anak-anak yang berani melapor kepada orangtua ketika mereka dimarahi guru. Mereka akan menutup hal tersebut bagi orangtua.
Mereka pun tak menyukai kalau ada temannya yang menakut-takuti perihal peristiwa yang dialaminya itu diberitahukan kepada orangtua. Sebab, dipastikan mereka sesampai di rumah kena marah.
Berangkat dari realitas seperti itu mungkin ada benarnya kalau kala itu tak ada kotak saran yang dibuat dan diletakkan di salah satu tempat di lingkungan sekolah. Sebab, tak ada gunanya. Guru seakan sosok "super" yang selalu benar, sehingga tak perlu dikritik atau diberi saran.
Bahkan, akhirnya ada sebutan juga bagi guru sebagai sosok yang "digugu" dan "ditiru" (dipercaya dan diteladani). Sebutan seperti itu bertahan sangat lama di masyarakat. Bahkan, hingga kini, masih terdengar sedikit-sedikit.
Sumber berbenah
Seiring dengan perkembangan zaman, kotak saran di sekolah mulai diadakan. Seperti telah disinggung di awal tulisan ini, kotak saran ditempatkan di dekat pintu masuk gedung sekolah.Â
Pengadaannya bisa dipastikan menandakan bahwa ada pemikiran baru tentang sekolah (baca: kepala sekolah dan guru).