Hampir dapat dipastikan semua orangtua merasa senang kalau anaknya rajin belajar. Termasuk saya. Sebab, dalam logika sederhana saya, mungkin juga kita, anak yang rajin belajar tentu berprestasi baik.
Oleh karena itu, setiap malam, waktunya jam belajar, orangtua lega jika melihat anaknya berada di meja belajar. Membaca buku. Mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah (PR). Atau, aktivitas belajar yang lain.
Kelegaan tersebut dapat terganggu jika anak tak ditemukan beraktivitas belajar. Beraktivitas belajar setidaknya ditunjukkan  dengan tanda-tanda seperti sudah disebut di atas. Tapi sudah waktunya belajar, si anak malah melihat televisi, memegang gawai, dan rebahan saja.
Wajar jika kemudian orangtua mulai berbicara. Menyuruh anaknya  melakukan belajar. Sebab, memang sudah waktunya untuk belajar. Waktu belajar anak biasanya dilakukan malam hari. Setelah mereka makan malam. Kira-kira mulai pukul 19.00 WIB.
Tapi, ada juga kebiasaan belajar anak pada waktu yang berbeda. Mungkin fajar hari, setelah subuh. Mungkin juga siang hari, setelah tidur siang. Semua itu tergantung masing-masing anak dengan sepengetahuan orangtua.
Maksud baik orangtua mengingatkan atau menyuruh anak untuk belajar karena tiba waktunya belajar, belum tentu efektif. Karena bisa saja maksud baik itu justru malapetaka bagi anak. Artinya, anak tak suka kalau aktivitas belajarnya selalu diingatkan atau ia selalu disuruh.
Mungkin orangtua berpikir bahwa mengingatkan atau menyuruh anak untuk belajar karena sudah waktunya belajar sebagai perilaku memperhatikan anak. Sebab, kalau membiarkannya saja artinya orangtua tak memedulikan anak.
Saya kira begitulah rerata orangtua berpikir. Saya juga begitu. Sepertinya simpel saja. Tapi, perilaku begitu tak selalu berefek baik bagi anak. Sebab, hal yang dipikirkan orangtua belum tentu sesuai dengan hal yang dipikirkan anak.
Memang ada anak-anak yang aktivitas belajarnya perlu diingatkan, atau bahkan mereka harus disuruh. Anak-anak yang seperti itu akan enjoy saja melakukannya. Tak terbeban.