Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gemblong, Lompong, dan Rebung, Semangat Desa yang Menjawab Kerinduan Urban

27 Februari 2022   13:30 Diperbarui: 28 Februari 2022   10:50 2161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gemblong yang dibuka dari pembungkusnya, daun pisang. (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Karena dalam darah mereka masih mengalir semangat menghidupi pertanian di desa, gemblong, lompong, rebung, dan produk kearifan lokal yang lain masih tetap ada dan kita bisa menikmatinya hingga kini. Sekalipun tentu saja sesudah melewati tengkulak dan pedagang, terutama bagi masyarakat yang hidup di perkotaan.

Kaum urban

Mengakui atau tidak, kaum urban, terutama yang termasuk generasi baby boomers seperti saya, sewaktu-waktu dalam benak tumbuh rasa rindu ingin menikmati gemblong, lompong, rebung, dan produk kearifan lokal yang lain. Sebab, sejak kecil, kelompok ini sudah terbiasa menikmati produk kearifan lokal tersebut.

Setiap kumpul sesama urban, apalagi dalam momen yang ada makannya, kami selalu mengharap ada hidangan singkong, pisang, kacang, umbi (termasuk umbi lompong), ganyong, jagung, dan sejenisnya.

Karena, kudapan seperti itu sudah sangat familier di lidah kami. Sehingga, sering ada ungkapan begini, "saat kumpul-kumpul kalau tak ada kacang, ganyong, umbi, dan singkong, rasanya tak sempurna".

Kalau ada pilihan, kami pasti memilih kudapan alami ketimbang kudapan ala kota, misalnya roti, tahu isi, sus, dadar gulung, dan lapis. Tapi, apa boleh buat kalau yang terhidang hanya kudapan ala kota. Kami tetap menikmatinya sekalipun mungkin tak akan habis.

Berbeda dengan kudapan ala desa (baca: alami), kami pasti menyantapnya hingga habis. Kalau tak habis, umumnya kami membungkusnya. Lalu, membawanya pulang dengan riang karena kerinduan kami terhadapnya serasa telah terjawab.

Rebung yang sudah diiris-iris sebelum disayur. (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Rebung yang sudah diiris-iris sebelum disayur. (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Hal tersebut seperti yang baru saja saya alami. Saat mau kontrol sehabis operasi (baca artikel terkait Cara Mak Memaknai Valentine Day dalam Cerita Mbakyu, yang sudah saya tulis beberapa waktu yang lalu di sini), Mbakyu dan putrinya menginap di rumah kami. Mereka membawa oleh-oleh alami khas desa, yakni gemblong, lompong, dan rebung.

Saat menghadapi sayur lompong di atas mangkuk yang dimasak keponakan, putri Mbakyu, yang waktu memasaknya ternyata masih dipandu ibunya, saya dapat menikmatinya dengan lahap. Sebab, sudah puluhan tahun, saya tak pernah menikmati sayur lompong. Kerinduan saya terhadapnya sudah terpenuhi ketika itu.

Saya yakin, sebagian besar kaum urban memiliki rasa seperti yang selalu saya rasakan. Rindu terhadap kebiasaan-kebiasaan lama. Bagaimana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun