Ketika terjadi gempa bumi di Lombok, si sulung ikut jadi relawan. Itu tugas dari kampus. Bersama teman-temannya dalam satu tim relawan. Dalam satu tim tersebut, mungkin ada yang sudah berkali-kali, mungkin ada juga yang baru sekali mendampingi para korban.
Di kampus, tempat mereka menuntut ilmu, melalui unit kegiatan mahasiswa, mereka belajar cara mendampingi orang-orang yang trauma karena kejadian yang menimpanya, termasuk kejadian bencana.
Sehingga, ketika si sulung izin mengikuti jadi relawan, saya yakin dia telah dibekali keterampilan untuk mendampingi orang-orang yang sedang mengalami trauma akibat gempa. Itu sebabnya, saya mengizinkan.
Tak hanya karena alasan itu saya mengizinkannya. Tapi, ada alasan yang juga penting, yaitu ia memiliki "keinginan" yang begitu kuat.
Rasanya tak elok kalau "keinginan" tersebut diabaikan. Sebab, menurut saya, di balik "keinginan" itu tersimpan semangat untuk mengembangkan kompetensi diri.
Apalagi pengembangan kompetensi diri tersebut berkaitan dengan bidang kemanusiaan. Yang, secara khusus tak dipelajari di bangku sekolah dan kuliah.
Hanya dalam kesempatan seperti ini hal tersebut dapat dipelajari. Bahkan, dapat dipraktikkan secara langsung oleh si sulung dan teman-temannya. Yaitu, melayani dan mendampingi sesama yang sedang mengalami musibah.
Memang memberikan pendampingan terhadap korban di daerah bencana menghadapi risiko. Terlebih di daerah bencana gempa bumi.
Sebab, berdasarkan kejadian-kejadian terdahulu, selalu ada gempa bumi susulan. Sekalipun getaran gempa bumi susulan lebih kecil daripada yang utama, tetap saja berbahaya.
Itu sebabnya, istri saya tidak mengizinkan si sulung turut ke Lombok, yang ketika itu memang masih banyak diberitakan lewat media adanya gempa susulan. Ia khawatir terjadi sesuatu terhadap si sulung.