Tapi, capaian belajar siswa mungkin tak jauh berbeda. Capaian belajar siswa saat PTM dan PJJ yang  menggunakan Kurikulum 2013 boleh jadi relatif sama. Pun demikian halnya, capaian belajar siswa saat PTM dan PJJ yang menerapkan Kurikulum Darurat lebih kurang sama.
Sebab, hal yang membedakan capaian belajar siswa, saya pikir, bukan terletak pada cara pembelajarannya, PTM atau PJJ. Tapi, lebih terletak pada materi pembelajarannya. Beban atau muatan materi pembelajaran dalam Kurikulum 2013 lebih banyak daripada materi pembelajaran dalam Kurikulum Darurat.
Bukankah Kurikulum Darurat merupakan penyederhanaan Kurikulum 2013? Dengan begitu, materi pembelajaran dalam Kurikulum Darurat juga merupakan penyederhanaan materi dalam kurikulum 2013.
Jadi, wajar kalau capaian belajar siswa pengguna Kurikulum Darurat "lebih baik" dibandingkan dengan capaian belajar siswa pengguna Kurikulum 2013. Karena, siswa tentu lebih mudah menguasai sedikit materi (dalam Kurikulum Darurat) daripada banyak materi (dalam Kurikulum 2013).
Sekalipun materi dalam Kurikulum Darurat sedikit, tapi materi tersebut merupakan  materi pokok dalam Kurikulum 2013. Toh memang, penyederhanaan Kurikulum 2013 menjadi Kurikulum Darurat, baik yang dilakukan oleh Kemendikbudristek maupun sekolah (secara mandiri), mendasarkan pada materi-materi yang esensial.
Jadi, 40,4% sekolah pengguna Kurikulum Darurat dengan capaian belajar siswanya "lebih baik" sebetulnya secara esensial tak lepas dari muatan Kurikulum 2013. Oleh karena itu, tetap adanya opsi Kurikulum 2013 pada 2022 hingga 2024 sebetulnya tak efektif.
Apalagi, dalam masa pemulihan pembelajaran ini sudah seharusnya menghindari muatan kurikulum yang memberatkan siswa. Memulihkan motivasi belajar siswa, yang sempat menghilang karena dampak pandemi Covid-19, harus dimulai dari muatan kurikulum yang meringankan dan menyenangkan siswa.
Kurikulum Darurat dibuat tentu dalam rangka memulihkan motivasi belajar siswa dengan tetap mempertahankan materi esensi yang penting bagi tumbuh kembang siswa. Apalagi, Kurikulum Darurat sudah menunjukkan kebermanfaatannya terhadap sekolah yang pada 2021 sudah menggunakannya.
Maka, sejatinya pemerintah tinggal mendorong saja sekolah yang belum menerapkannya. Dengan cara, menawarkan dua opsi kurikulum, yaitu Kurikulum Darurat dan Kurikulum Prototipe untuk pembelajaran pada 2022 hingga 2024.
Menyediakan dua opsi kurikulum bagi sekolah untuk diimplementasikan, setidaknya juga memudahkan pemerintah untuk memantau dinamika pendidikan. Dan, agaknya kurang arif kalau menawarkan banyak opsi kurikulum justru menyulitkan, baik bagi pemerintah (sendiri) maupun sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H