Kalian pindah kelas lagi. Seperti yang dulu. Tentu tidak nyaman. Mengganggu konsentrasi belajar. Aku, yang mengajar dan mendidik kalian saja, merasa tidak nyaman. Ya, apalagi kalian. Belajar kok pindah sana pindah sini. Maaf, seperti kucing sedang beranak.
Akan tetapi, itu kenyataan yang terjadi. Kepindahan yang kesannya diada-adakan. Toh kalau pun tidak pindah tidak apa-apa. Sebab, ruang kelas kalian sejatinya masih baik. Bahkan, masih sangat baik. Beberapa tahun ke depan pun, ruang kelas kalian aku jamin masih oke untuk proses pembelajaran. Dindingnya belum ada yang retak. Masih mulus karena cat tembok masih melekat kencang.
Karena kepindahan yang tiba-tiba terjadi itu banyak di antara kami, para guru, merasa kaget. Bertanya-tanya dalam hati. Â Tidak ada yang perlu kami tanyakan secara terbuka. Cukup pertanyaan tertutup saja. Sebab, sejatinya kami sudah tahu jawabannya. Ya, paling-paling jawabannya seperti yang dulu-dulu. Sama saja. Yaitu, maaf, jawaban yang tidak masuk akal.
Dalam hati kami menolak sejatinya. Tetapi, tidak memiliki daya untuk menolak secara terbuka atas jawaban yang bagi kami hanya akal-akalan itu. Kami akhirnya hanya prihatin melihat keadaan yang terjadi. Kami menguat-nguatkan diri untuk tetap mendidik dan mengajar kalian. Kami harus tetap terlihat tegar di hadapan kalian. Tetap murah senyum. Agar kalian tetap merasa nikmat dalam belajar.
Aku percaya kok, kenyataan pindah-pindah ruang belajar juga terjadi di sekolah lain. Tidak hanya di sekolah tempat kita. Hal itu seperti sudah menjadi budaya di lembaga yang disebut sekolah. Di mana-mana. Meski ruang kelas masih bagus kondisinya. Tetap saja ada budaya pindah. Ruang kelas direhab, diperbaiki, begitu alasan yang sering kami dengar.
Pindah ruang belajar kadang ke ruang yang apa adanya. Tidak mempertimbangkan layak atau tidak untuk belajar. Pokoknya di ruang. Ada dinding yang menutupi kalian sedang belajar. Ada atap penutup panas dan hujan. Hanya seperti itu kondisi tempat kalian pindah untuk belajar. Ruang panas karena minim ventilasi tidak menjadi problem. Udara pengap tidak mengapa. Gelap karena pencahayaan kurang, tidak menjadi rintangan. Sempit pun tidak mengurangi semangat. Kalian diharapkan tetap dapat terus belajar. Itu pandangan pihak yang berkepentingan.
Aku, tentu juga sebagian besar guru, tidak sepandangan. Perihal pindah boleh saja. Tetapi, seharusnya di tempat yang layak untuk belajar kalian. Sekurang-kurangnya seperti tempat yang kalian tinggalkan. Ventilasi mencukupi. Penerangan sangat mendukung. Meja dan kursi belajar kalian, hal yang tidak dapat ditawar. Harus ada. Jangan sampai  belajar secara lesehan. Syukur-syukur kondisi tempat pindah lebih baik. Kalau tempat pindah kalian seperti itu, aku, kami maksudnya, setuju-setuju saja.
Proses pembelajaran yang kita jalani tetap berlangsung baik. Hanya sedikit terganggu. Sebab, pindah tempat perlu adaptasi. Kita harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Katakanlah, sebaik apa pun tempat itu, upaya adaptasi sangat dibutuhkan. Apalagi kalau tempat baru itu sangat jauh dari harapan, sekalipun sudah beradaptasi kemungkinan merasa tidak nyaman dapat kita alami.
Memang kalian bersekolah itu gratis. Tetapi, tidak berarti kalian menerima layanan belajar yang berada di bawah standar pelayanan minimal (SPM). Kalian memiliki hak dilayani minimal memenuhi SPM. Karena pemerintah telah menjamin. Dengan pembiayaan lewat APBN. Bahkan, ada juga dana dari APBD. Itu artinya, layanan untuk kalian dinomorsatukan. Bukan digampangkan. Misalnya, memindah belajar kalian ke sana ke sini hanya karena dampak dari rehab, perbaikan, atau apalah istilahnya, yang  sejatinya belum mendesak diperlukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H