Sebagai perajin dan pelaku seni batik, saya benar benar heran. Beberapa minggu terakhir ini, ada fenomena aneh yang terus menggelitik nalar waras saya.Â
Kalau seminggu lalu saya menulis, " Kenapa Banyak Orang Memburu Batik Hitam " maka hari ini akan saya tunjuukkan kepada masyarakat Kompasiana, bahwa para pemburu batik hitam itu rata-rata keluarga kelas menengah, menengah atas, dan para kaum terdidik. Setidaknya mereka sekolah setngkat SMA sederajat, bahkan pernah kuliah, atau lulus dari Perguruan Tinggi.
Pertama, mereka memburu batik berlatar belakang warna hitam "kelam" black, dengan motif aneh-aneh. Ada yang memburu motif kontemporer, etnik, hingga batik hitam abstrak ( seperti yang saya produksi, Red). Fenomena ini cukup membuat saya sedikit "resah" ada apa gerangan dengan perilaku para kaum "elite" di sekitar saya ini?
Adakah syndroma tertentu, atau virus mistis atau apa sebenarnya? Karena setiap kali menerima tamu "pemburu " batik, yang ditanyakan selalu " ada gak batik yang berlatar hitam? "Â
Setiap kali mendapat pertanyaan itu, saya tentu gembira karena produk batik saya bulan ini, 90 persen berlatar hitam. Mulai dari hitam variasi motif merah kuning biru, hijau, dll. Artinya, saya siap barang jika sembarang motif warna hitam diminati pembeli. Namun, tidak demikian adanya. Beberapa kali saya menjumpai pemburu batik hitam, yang dibutuhkan batik berlatar hitam, dengan goresan warna pada motifnya orange, pink, dan merah.
Tiga warna itu, sangat sering ditanyakan para pemburu batik hitam. Ada apa dengan warna orange, pink dan merah. Perlambang apa ini? Atau sedang terjadi gerakan apa di kebudayaan kita?
Atau tepatnya, kontraksi budaya apa yang tengah melanda sebagian masrakat kita ini? Karena saya mengamati, ini tidak ada kaitannya dengan suhu politik lokal atau nasional? Tidak ada pula kaitannya dengan Presiden Jokowi atau Gubernur Yogyakarta. Tidak ada pula dengan dinamika politik Prabowo.
Bahkan suatu hari saya mendapatkan pesanan batik hitam, dengan warna motif kuning, merah, dari sejumlah pegawai negeri sipil di wilayah saya. Mereka sangat antusias memiliki bahkan membuat seragam batik hitam, sebagai membangun perfoma "kebanggaan" korp di institusi mereka.Â
Sampai di sini nalar waras saya belum mendapatkan jawaban yang pasti, kenapa masyarakat demikian hebohnya dengan batik hitam. Dan ( maaf ) tentu ini bukan karena saya melakukan promosi produk batik hitam. BUkan sama sekali. Karena rata-rata tamu yang datang ke Rumah produksi Batik Abstrak Sekar Batu, milik saya, memburu batik hitam bukan karena membaca atau melihat promosi saya di berbagai media sosial. Bukan. Sebagian mereka bahkan mengatakan, tidak tahu kalau produk saya sedang melakukan promosi di beberapa media sosial.
Aneh!
Tetapi apapaun yang melatar belakangi perburuan mereka, fenomena ini tetap memberi banyak keuntungan pada saya, karena minimal saya dikunjungi lebih banyak tamu " pemburu batik hitam ". Dan konkritnya, saya juga mengalami peningkatan penjualan karena fenomena ini. Namun sebagai makluk yang karuniai akal budi saya tidak begitu saja melahap mentah mentah " yang penting jualan laku " sama sekali tidak. Saya masih menyisakan ruang di otak saya, untuk mencari tahu, apa gerangan yang terjadi dengan dinamika fashion di sebagian masyarakat yang kini tengah gandrung dengan batik hitam.Â