Presiden SBY dipandang sebagai sosok yang sangat menyayangi keluarga. Sepanjang perjalanan biduk perkawinan dengan Ibu Ani, beliau tidak pernah diterpa isu miring terkait kehidupan rumah tangganya. Tentu hal ini dapat dijadikan teladan bagi generasi muda, juga bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kurang lebih dalam suatu hubungan perkawinan, yang paling utama adalah kesadaran saling melengkapi dan terbuka atas kekurangan pribadi. Perkawinan tak lain dari perjalanan, yang mana rintangan dan resiko senantiasa menyertai. Perjalanan dapat membuat manusia mengetahui kekurangannya, merasakan kelelahan, mengambil pelajaran dari setiap langkah dan banyak hal lain.
Maka perkawinan sukses terjadi bukan karena masing-masing menjalankan hak-kewajiban normatif. Karena perkawinan juga merupakan wadah untuk meleburkan ide dan cita-cita. Mengakui kekuatan pasangan agar dapat menutupi kelemahan selebihnya. Presiden SBY telah melakukan itu sejak puluhan tahun silam hingga hari ini.
Sebuah realitas faktual kita peroleh dari hubungan perkawinan SBY-Ani. SBY memiliki kemampuan menulis, satu kelebihan yang sudah ia buktikan dalam waktu dekat kemarin dengan menerbitkan buku berjudul "Selalu Ada Pilihan". Peluncuran buku tersebut sangat megah, dihadiri para pejabat negara dan elit politik negeri. Memang sejak peluncuran buku muncul pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Tetapi itu lazim terjadi terhadap seorang penulis.
Siapa rakyat yang tidak senang memiliki pemimpin multi talenta. Sebelumnya SBY pernah menciptakan lagu, ia juga bisa bermain musik. Bahkan, pada pertemuan APEC menjelang akhir tahun 2013 silam, ia sempat menghibur para delegasi dari negara lain dengan bermain gitar akustik. Rasanya tidak salah jika beliau adalah lulusan terbaik Akabri angkatan 1973, karena SBY unggul dalam segala hal.
Bermusik adalah seni lewat nada, sedang menulis seni lewat kata. Pramoedya Ananta Toer mengatakan, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Demikian hebat kekuatan tulisan sehingga Tuhan perlu meninggalkan tulisan dari setiap ajaran yang diturunkan. Siapa pun kita, dan keyakinan kita, baik Islam, Kristiani, Budha, Hindu, Yahudi adalah produk naskah tulisan. Bahkan kelompok ateis pun produk dari tulisan.
Jika SBY menguasai seni menulis, Ibu Ani tidak kurang hebat dengan kelihaiannya memainkan lensa. Ia belajar fotografi dengan serius, ke mana-mana kamera profesional melingkari lehernya. Fotografi adalah seni merekam realitas objek. Kekuatan foto tidak jauh berbeda dari lukisan. Ia unggul dalam warna dan bentuk. Seringkali sebuah gambar lebih kuat dari ribuan tulisan. Foto seorang demonstran mahasiswi Trisakti korban kekerasan militer pada reformasi 1998 secara langsung dapat menjelaskan peristiwa sesungguhnya daripada banyaknya tulisan propaganda reformasi yang sebelumnya sudah dikerjakan selama menahun.
Oleh sebab itu, kemampuan Ibu Ani sebaiknya patut mendapat apresiasi. Dan lebih penting, Ibu Ani memiliki kemampuan yang tidak dimiliki suaminya, begitu sebaliknya.
Dalam jurnalistik, tulisan dan foto tak dapat dipisahkan. Foto adalah representasi dari tulisan peristiwa yang mengandung makna-makna tertentu. Foto dapat memperkuat interpretasi berita dengan penekanan atau teknik spesial yang digunakan.
Di sinilah terlihat satu lagi keserasian SBY-Ani. SBY mampu menjelaskan peristiwa, Ibu Ani menyuguhkan kejadian seolah-olah nyata dan sangat dekat. Sungguh, dua kemampuan itu semata-mata tidak dapat dipandang sebelah mata. Jika SBY sudah menerbitkan buku, mungkin sekarang Ibu Ani sedang terpikir menerbitkan katalog yang merupakan masterpiece-nya selama ini. Semoga terwujud.
Sebagai presiden, tentu saja ia selalu disorot hingga titik-koma perkataan atau tulisan. SBY tak bisa menghindar, karena ia orang pertama di Republik. Penerbitan buku SBY dikritik karena lebih banyak menekankan unsur politik, bukan membicarakan rakyat. Ibu Ani pun lebih dahulu sering mendapat kritik dari rakyat terkait kemampuannya memotret, terutama disampaikan melalui akun instagram pribadi miliknya.