Perilaku netter kompasianer dalam menuangkan tulisannya, dapat dibagi menjadi beberapa kelompok. Di antaranya, kompasianer yang betul-betul menulis (blogger), kompasianer pemikir, pemerhati bahasa, pengamat lapangan (citizen journalism), hobbies, copasier (tukang copy-paste dari tempat lain), belum lagi para bombers (istilah saya untuk Kompasianer yang suka memakai judul-judul bombastis dan mengarah ke bahasa vulgar) dan lain-lain. Termasuk pegiat lomba (contest hunter) yang hadir bila ada lomba saja, seperti saya :)) Ya, saya termasuk jenis Kompasianer kategori pegiat lomba. Dari 19 tulisan saya di Kompasiana, hanya dua yang non-lomba. Hinakah seorang kompasianer pegiat lomba seperti saya? Hanya karena tulisannya 'pamrih' mengejar hadiah? Tidak juga. Malah saya pikir, justru tulisan para pegiat lomba banyak yang bagus-bagus. Mengapa? Karena mereka mempunyai tujuan menang. Dan bagaimana kemenangan itu bisa diraih, tentunya mereka akan memberikan nilai perjuangan yang lebih, dalam menuangkan tulisannya. Maka, lahirlah tulisan-tulisan berkualitas. Saya saja berkenalan dengan Kompasiana juga dari even perlombaan. Kalau nggak salah even Selocal Soccer yang diadakan Kompasiana kerja bareng Sony Ericsson menjelang penyelenggaraan Piala Dunia kemarin. Intinya, saya sebagai pegiat lomba (mungkin juga mewakili yang lain), menuntut pengakuan eksistensi. Bahwa, di antara ribuan Kompasianer, ada orang-orang yang ngeblog karena mengejar hadiah. Dengan demikian, konsekuensinya ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari Kompasiana terkait penyelenggaraan lomba. Inilah beberapa catatan ketidakramahan Kompasiana : 1. Tidak jelas kapan pengumuman pemenang lomba. Padahal, pada waktu pengumuman awal, sudah ditulis mengenai kapan terakhir perlombaan dan kemungkinan tanggal pengumuman pemenangnya. Sebagai contoh, ajang di bulan Ramadhan kemarin, Puasa Dulu Baru Lebaran. Seyogyanya diumumkan di akhir bulan September, namun kenyataanya baru pada 5 November diumumkan. Itu pun tidak ada keterangan resmi alasan keterlambatan. Bayangkan, sebulan lebih menunggu dalam ketidakpastian. Belum lagi even lomba yang lain. Di tempat lain, memang ada juga keterlambatan. Tapi biasanya disertai permohonan maaf dan keterangan resmi dari pihak panitia tentang alasan keterlambatan (walaupun alasannya biasanya sangat klasik) dan kapan kepastian pengumumannya. 2. Ada pajak hadiah. Besarannya mencapai 25% dari harga hadiah tersebut. Tentu ini sangat tidak ramah dan memberatkan para pemenang. Misalkan saja hadiahnya berupa Blackberry Gemini. Yang harganya mencapai Rp2,4 juta. Maka pajak yang harus dibayarkan sebesar Rp600 ribu! Jumlah yang sangat besar bagi Kompasianer seperti saya, tapi jumlah yang kecil untuk Kompas yang sudah mapan. Saya tidak mengerti mengapa pajaknya dibebankan kepada pemenang. Bukankah, Kompasiana mengharapkan partisipasi sebanyak-banyaknya dari para Kompasianer? Dengan adanya pajak tersebut, malah akan menyurutkan minat pegiat lomba. Sekali lagi saya membandingkan dengan tempat lain. Dari seluruh lomba yang saya ikuti dan sebagian saya menangkan, tidak ada satupun yang meminta para pesertanya untuk menyediakan sejumlah uang untuk membayar pajak hadiahnya. Bahkan setiap lomba selalu diberi stempel “Hati-hati terhadap penipuan. Pajak ditanggung panitia”. Sedangkan Kompasiana tidak memberikan label tersebut pada waktu pengumuman awal lomba. Baru pada waktu pengumuman pemenang ada keterangan bahwa pajak hadiah dibebankan kepada pemenang. Menjebak? Ayo, kira-kira apa alasan Kompasiana membebankan pajak hadiah kepada pemenang? 3. Ketidakjelasan pengembilan hadiah. Beberapa malah disuruh mengambil ke kantor Kompas, Jakarta sono. Bila pun dikirim, tidak seluruhnya menerima dalam selang minggu yang sama. Seperti yang dialami oleh mbak Fatimah Afrianty Gobel dan Neng Tita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H