Ilustrasi - Pagelaran ludruk dipentaskan di Kota Malang. Kali ini mementaskan Ludruk Irama Baru Sidoarjo di Taman Krida Budaya Jawa Timur, Jalan Soekarno Hatta Kota Malang, Sabtu (24/1/2015) malam. (Suryamalang.tribunnews.com/Hayu Yudha Prabowo)
Sejak kecil saya termasuk penggemar berat kesenian tradisional Jawa Timur yang bernama ludruk. Jika ada ludruk yang pentas di kampung, pada sebuah hajatan sunatan atau pernikahan saya pasti nonton. Seperti biasanya, pada pagelaran ludruk banyak sekali penjual makanan, minuman, bahkan mainan anak-anak. Oleh karena itu, pada hari H-1 saya biasanya mengadakan OpsPur (Operasi Tempurung) alias minta uang kepada Bapak, Emak, Paman, Pakde, Bude, dan kerabat yang lain. Nonton ludruk dengan kantong tebal penuh koin sungguh asyik dan mengasyikkan. Sambil nonton bisa menikmati kacang rebus, tahu solet (tahu yang ada bumbu di dalamnya) atau membeli mainan.
Bagian pentas ludruk yang paling menyenangkan adalah acara lawakannya. Tiap grup ludruk pasti memiliki pelawak yang lucu sehingga bisa membuat penonton tertawa ngakak. Jika ceritanya bagus saya bisa pulang sampai jam 4 pagi. Cerita rakyat seperti Pak Sakerah, Sarip Tambakoso, Warok Suro Menggolo, Sam Pek Ing Tay merupakan cerita yang sangat populer pada saat itu.Â
Pemeran wanita biasanya dilakukan oleh pemain laki-laki. Kala itu belum ada wanita yang mau main ludruk. Aneh tapi nyata, laki-laki yang memerankan wanita itu tak sedikit yang berwajah cantik. Mas Muhadi, Mas Kadam, Mas Sukardi, dan beberapa orang lainnya tampak cantik banget jika sudah berdandan ala wanita. Ketiga orang itu biasanya juga menjadi penari Ngremo yang ditampilkan setelah penari Ngremo yang pertama. Jaman itu pentas ludruk selalu didahului dengan 2 tari Ngremo. Yang pertama tari Ngremo Laki-laki dan setelahnya ditampilkan tari Ngremo Perempuan. Setelah tari Ngremo selesai acara berikutnya adalah Bedayan yang menampilkan beberapa orang wanita (diperankan laki-laki) untuk menari dan ngidung. Lawakan dan inti cerita merupakan acara berikutnya. Itulah sebabnya pagelaran ludruk berlangsung semalam suntuk. Orang-orang yang tergolong 'mampu' jika menikahkan atau mengkhitankan anaknya sering menanggap ludruk.
Selain pentas di acara pernikahan atau khitanan, ada kalanya grup ludruk pentas di kampung selama beberapa hari. Mereka membuat bangunan untuk pentas yang terbuat dari bahan bambu. Ada panggung terbuka dan ada pula bilik untuk tempat pemain berhias dan menunggu tampil. Saya juga pernah nonton ludruk yang 'nggedong' (pentas di sebuah gedung beberapa hari) Tentu penonton harus membeli karcis jika akan menontonnya.
Hadirnya televisi membuka kesempatan kepada grup ludruk untuk tampil di layar kaca. Ini sungguh sangat menyenangkan bagi saya selaku penggemar berat ludruk. Walaupun hanya berupa ludruk padat dan singkat tetapi cukup menghibur. Maklum pentas ludruk di acara hajatan sudah semakin langka.
Di antara pentas ludruk yang pernah saya tonton di televisi adalah Ludruk Artis. Wow, sesuai namanya, yang main memang kebanyakan para artis. Dari penari Ngremo, pelawak, sampai pemain lainnya juga para artis. Saya masih ingat salah satu penari Ngremo Ludruk Artis kalau tidak salah bernama Mira Tania. Bagus loch tariannya. Setidaknya saya sudah 3 kali nonton Ludruk Artis di layar televisi. Itu pun sudah berlangsung beberapa tahun yang lalu.
Kini kesempatan untuk menonton ludruk sudah semakin jarang. Pemangku hajat sudah jarang yang nanggap ludruk. Mereka lebih suka nanggap orkes dangdut, organ tunggal, atau kuda lumping gaya baru. Untungnya di JTV masih menyiarkan acara Ludruk Cak Kartolo cs. Lumayan untuk mengobati rasa rindu.
Langkanya pentas ludruk semakin mengkhawatirkan. Papan nama Ludruk sih masih saya lihat, tapi jarang terdengar kapan mereka pentas dan di mana. Ludruk yang main di gedung juga langka. Mungkin takut rugi karena tidak ada yang menonton. Saya mengharapkan grup ludruk masih mau menggelar pentas di kampung-kampung dengan harga tiket murah. Musim panen adalah waktu yang pas untuk pentas karena penduduk sedang mempunyai uang yang cukup.Â
Kembali ke Ludruk Artis. Saya mengetuk hati para artis apa pun agar mau meneruskan tradisi kebudayaan Indonesia, bukan hanya ludruk tetapi juga ketoprak, wayang orang, dan kesenian tradisional lainnya. Himbauan ini juga saya sampaikan kepada para manajemen televisi agar lebih sering lagi menampilkan ludruk, ketoprak, wayang orang, dan kesenian lainnya.
Ludruk Artis hendaknya mampu sebagai pemancing. Ketenaran para artis tentu bisa menggugah selera anak-anak muda untuk mencintai kebudayaan Indonesia. Jangan sampai kelak anak-cucu sudah tidak bisa melihat lagi ludruk, ketoprak, wayang orang, wayang kulit, wayang golek, dan lain sebagainya. Jangan sampai pula ludruk diakui oleh bangsa lain sebagai miliknya. Saya tahu, jika ludruk diakui bangsa lain rakyat Indonesia akan marah. Mereka akan melakukan unjuk rasa, demo bakar ban dan teriak-teriak histeris. Semoga mereka yang gemar demo itu juga meluangkan waktunya untuk menonton ludruk dan kesenian tradisional lainnya. Jangan biarkan ludruk bak ikan kerapu di atas batu, hidup segan, mati tak mau.