Akhirnya saat itu tiba juga ketika Emak akan menunaikan ibadah haji. Ini kesempatan baik untuk mempengaruhi Emak. Isteri saya tugasi untuk membujuk ibu mertuanya agar meninggalkan kebaya dan kain jaritnya.
“Ibu jangan memakai kain jarit dan kebaya. Nanti di sana repot dan kurang bisa bergerak cepat. Ibu bisa ketinggalan loch.” Isteri saya mulai menjalankan misinya. Entah terpaksa atau memang takut ribet dan ketinggalan jamaah yang lainnya, Emak setuju dengan saran menantunya.
Emak dengan dibantu isteri saya mulai berburu busana muslim. “Nah, Ibu kan lebih enak memakai busana muslim. Bisa dandan dengan cepat dan bergerak dengan lebih leluasa,” isteri saya mencoba meyakinkan ketika Emak mencoba busana muslim yang baru dibelinya. “Nanti kalau tetangga melihat kan saya malu,” Emak masih ragu-ragu.
Begitulah, pada hari H, jam J, Emak siap berangkat ke titik kumpul jamaah calon haji di pendopo kabupaten Jombang. Emak dengan busana model barunya. Luar biasa, Emak yang selama ini fanatik dengan kebaya, kain jarit, dan sandal keplek total berubah.
Dalam perjalanan menuju pendopo kabupaten saya bertanya kepada isteri. “Siapa yang mendandani Emak tadi?” Ternyata isteri saya tercinta yang mengatur busananya. “Tadinya Emak mau pakai rok panjang tapi saya menyarankan pakai celana panjang saja. Masa pakai rok dipadukan dengan sepatu olahraga.” Saya tertawa sambil mengangguk-angguk membenarkan.
Memakai celana panjang dan sepatu olahraga mungkin tak akan terulang lagi sepanjang hidup Emak. Demikian pula kain jarit dan kebaya sudah menjadi busana sejarah belaka. Sejak revolusi fashion itu maka kini Emak menjadi terbiasa memakai daster atau busana muslim sebagai pakaian sehari-hari. Kain jarit, kebaya, dan konde masih tersimpan rapi di almari pakaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H