Putusan Majelis Hakim PN Jakarta Utara dalam kasus Basuki Tjahaya Purnama ( Ahok Btp ) sudah jelas melanggar pasal 20 KUHAPidana dimana ketentuan tersebut menyatakan bhw untuk kepentingan pemeriksaan Hakim berwenang melakukan penahanan. Artikulasi yg terkandung dlm pasal ini adalah kapan pemeriksaan itu dimulai dan kapan berakhir. Pemeriksaan dimulai ketika berkas perkara diterima Pengadilan dari Jaksa Penuntut Umum dan Berakhir manakala Requisitor dan Pledoi telah selesai dilakukan. Dengan demikian jika terdakwa dlm pemeriksaan persidangan tidak ditahan sampai pada acara tuntutan dan pembelaan selesai maka dalam putusannya Hakim tidak boleh menahan terdakwa. Tindakan Majelis Hakim yg memeriksa dan mengadili perkara ini dengan sendirinya bertentangan dengan Pasal 77 KUHAPidana yang mengatur ttg Sah Tidaknya penangkapan, PENAHANAN dan penghentian penuntutan serta sdh diperbaharui oleh putusan MK yaitu penetapan tersangka yg upaya hukumnya adalah PRAPERADILAN. Hal mendasar dari inti subyek hukum praperadilan hanyalah ditujukan kepada Penyidik dan Penuntut Umum. Pertanyaannya, bagaimana dengan HAKIM yg melakukan pelanggaran  terhadap pasal 20 KUHAPidana ? Melalu tulisan tangan ini,, saya memberi masukan kepada Pemerintah dan DPR untuk membuat revisi pasal 77 KUHAPidana tersebut dengan menambahkan HAKIM sebagai SUBJEK HUKUM PRAPERADILAN agar tidak terjadi kesewenangan para Hakim dlm melakukan penahanan kepada terdakwa. Hal ini mutlak mesti dilakukan demi melindungi hak Hukum dan HAM terdakwa dari kekuasan yg berlebihan (abuse of power). Untuk menyidangkan Hakim sebagai Subjek Hukum Praperadilan maka dari itu perlu dibentuk lembaga indipenden atau lembaga dibawah kekuasaan Kehakiman dan atau sekiranya diberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi melalui revisi UU MK untuk bisa mengadili Hakim yg melanggar pasal 77 KUHAPidana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H