Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Ia mendidik murid-muridnya dengan sepenuh hati segenap jiwa raga, tidak mengharapkan imbalan apapun kecuali gaji bulanan (guru sekolah dan guru privat). Seorang guru berharap murid-muridnya akan menjadi manusia yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Kebahagiaan seorang guru apabila harapannya kepada murid-muridnya menjadi kenyataan.
Kali ini saya ingin membagi kisah sedih dan pilu seorang guru. Kebetulan kisah ini saya alami sendiri.
Ya betul, guru tersebut adalah diri saya sendiri, yaitu Pakde Kartono yang diakui sebagai guru dalam hal menulis di kompasiana oleh beberapa murid (kompasianer), yaitu Mas Wahyu, Dewi Pagi, Ifani, Hanna Chandra, Polie_tikus, Rauf Nuryama, Anna Risnawati dan Gatot Swandito.
Berikut adalah beberapa testimoni (kisah sedih dan pilu) sang guru Pakde Kartono kaitannya dengan murid-muridnya. Cekidot ;
1. Mas Wahyu
Saya sedih dan pilu karena akhirnya mas Wahyu akan menikah juga, dan wanita beruntung tersebut adalah gadis Kamboja bernama Lin Halimah. Sewaktu membujang, Mas Wahyu sering curhat ke saya tentang sosok gadis-gadis incarannya, dan saya memberitahu bagaimana menaklukan gadis-gadis tersebut. Karena beda tipe gadis, beda pula cara menaklukannya.
Terkadang bila mas wahyu tak berani mendekati gadis dimaksud, maka saya yang mewakili untuk mendekati, dan dalam hitungan hari, gadis incaran mas Wahyu jatuh ke pelukan saya. Loh koq bukan ke pelukan mas wahyu? LOL.
Setelah menikah pasti mas wahyu akan sibuk dengan istrinya dan akan jarang curhat ke saya lagi. Ini akan menyedihkan dan memilukan pastinya.
2. Dewi Pagi
Setahun lalu, hampir setiap pagi mba Dewi Pagi mengeluarkan puisi-puisinya yang ciamik. Yang menghangatkan pagi hari bersama secangkir kopi dan teh. Namun sudah hampir 3 bulan ini, puisi-puisi mba Dewi Pagi sudah jarang menyapa kita lagi, hanya votenya saja sesekali terlihat sebagai tanda bahwa ia hadir sebagai silent reader.
Sebagai gurunya dalam menulis, termasuk menulis puisi, terus terang saya merasa sedih dan pilu, sebab alasan ia tak hadir dan eksis di kompasiana dari bisik-bisik tetangga, karena ia sibuk di sawah dan ladang, sejak pagi sampai besok paginya lagi, sehingga tak ada waktu membuat puisi dan mempublishnya di kompasiana.