[caption id="attachment_309608" align="aligncenter" width="600" caption="Wani Ngalah Luhur Wekasane. edit.pri"][/caption]
Sering kita mendengar kata-kata bijak atau paribasan Jawa yang berbunyi “Wani Ngalah Luhur Wekasane”, atau terkadang diucapkan “Andhap Asor, Wani Ngalah Luhur Wekasane”. Artinya siapa yang mau atau berani mengalah pada akhirnya mendapat kemenangan. Ungkapan atau kalimat singkat berisi perbandingan, perumpamaan, kata bijak atau aturan tingkah laku manusia, ini diciptakan atau diucapkan oleh nenek moyang kita pada keadaan atau situasi tertentu atau kepada seseorang yang mendapat perlakuan tidak baik. Misalnya seseorang yang dicibir, diejek, dicaci, dimaki, dicerca, bahkan difitnah. Ungkapan itu dinasihatkan kepada seseorang agar tidak membalas dengan hal yang sama.
Ngalah atau mengalah bukan berarti kalah. Orang yang mengalah karena difitnah oleh lawan atau seseorang yang membencinya, akan mendapat kemenangan atau kemuliaan dikemudian hari. Fitnah, berarti menuduh seseorang yang sebenarnya tidak melakukan sesuatu seperti yang dituduhkan. Pemfitnah sejatinya sedang menguras sendiri energi positifnya, bahkan mentransfer energi positif kepada pihak yang difitnah. Alhasil si korban fitnah akan mendapat kekuatan positif berlipat ganda.
Pada gambar ilustrasi diatas ada segerombolan burung gagak sedang menyerang, mengeroyok sebuah tunggul kayu. Itupun saya ambil dari sebuah paribasan Jawa yang bunyinya “Gagak Karo Tunggak Menang Tunggak”. Tentu saja tidak bisa diartikan secara harfiah. Paribasan itu menggambarkan seseorang atau kelompok (gagak) yang menyerang secara membabi buta yang dianggap sebagai lawannya (tunggul kayu). Pihak yang diserang (tunggul atau tonggak) tetap diam tak bergerak, tidak melakukan perlawanan. Gagak adalah sejenis burung buas pemakan bangkai. Paruhnya keras sekeras pualam dan setajam badik. Demikian juga kuku-kuku cakarnya bagaikan gancu baja. Namun jika penyerangan itu lantaran didasari rasa iri, dengki dan niat jahat lainnya maka, bukan hanya tak berhasil menumbangkan tunggak (tunggul), justru bulu-bulu gagak yang rontok, paruhnya pun retak bahkan remuk, juga kuku-kuku cakar sang gagakpun mrotholi (tanggal dari jarinya).
Selain dari paribasan Jawa tersebut, masih banyak peribahasa atau kata-kata bijak dari berbagai suku bangsa lainnya, contohnya, siapa menebar akan menuai, siapa menebar angin akan menuai badai, menepuk air di dulang terpercik muka sendiri, bagaikan melempar pasir ke langit, dan masih banyak lagi. Bahkan dalam kitab suci berbagai agama pun ada, tapi saya tidak berani menyebut dalam surat apa dan ayat berapa, takut salah.
Demikianlah, jika kita disindir, diejek, dicibir, dicaci, dimaki bahkan difitnah, menepis boleh, tapi tidak perlu membalas dengan perbuatan yang sama. Saya percaya, nenek moyang kita dulu menciptakan paribasan itu tidak asal-asalan, sarat akan nilai-nilai budi pekerti dan kemanusiaan, dan bisa dibuktikan. “Andhap Asor, Wani Ngalah Luhur Wekasane”. Dan ada juga yang bilang “Gusti Allah ora sare”.
[caption id="attachment_309609" align="aligncenter" width="500" caption="Wani Ngalah Luhur Wekasane = Mengalah bukan berarti kalah, dan akan mendapat kemenangan dan kemuliaan di kemudian hari. dok.pri."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H