T ujuh puluh tiga tahun lalu, seorang ibu melahirkan seorang bayi mungil yang sangat menggemaskan. Adalah putra ke-9 dari sebelas anaknya yang pernah ia lahirkan dari rahimnya. Ada pepatah mengatakan “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, buah hati kesayangan sang ibu tadi seperti suami dan dirinya bermata sipit dan berkulit putih mulu S.
J umat Pahing 21 Mei 1943 jam 5 pagi dalam kalender Jawa, adalah tepatnya hari kelahiran jabang bayi yang pada masa mudanya penuh dinamika, kurang beruntung bila tak boleh dibilang sengsara dan menderita. Namun dengan penuh semangat dan disiplin sikap yang pernah ditanamkan oleh ayahnya, serta tidak cengeng menantang kerasnya kehidupan, kini terjadi sebaliknya, beliau hidup sukses, sejahtera dan bahagia. Meskipun demikian beliau tetap rendah hati dan sederhana. Seperti yang pernah diucapkan oleh ayahnya bahwa orang yang hidupya susah jangan cengeng. Hingga kini masih terngiang dalam telinganya,. Setelah menjadi motivator, “Hidup susah jangan cengeng” menjadi jargon salah satu motivasinya kepada audien atau peserta pada seminar--seminarny A.
I bunya tak membeda-bedakan kasih sayangnya terhadap anak-anaknya. Namun, karena sesuatu hal pernah ibunya “pilih kasih”, mengalah, jatah makan hari itu diberikan pada anaknya yang ke-9 itu. Padahal semua anaknya sudah di‘ransum’ dengan porsi yang sama. Namun anaknya yang ‘nakal’ itu ‘ransum’nya tumpah dan piringnya pecah disebabkan ingin mengejar layangan putus, beruntung ibunya hari itu puasa maka jatahnya hari itu diberikan pada anak ‘nakal’ itu. Itulah salah satu contoh kasih sayang seorang ibu kepada ana K.
P ulau Karam, adalah daerah dimana beliau dilahirkan. Tidak seperti nama daerahnya yang berarti pulau tenggelam, bapak dari tiga orang anak ini pantang ditenggelamkan, meski berkali-kali ada saja orang bahkan sahabatnya ingin menenggelamkannya, bahkan ada yang akan membunuhnya, namun beliau tetap tegar dan maih segar bugar hingga kini. Hantaman gelombang dan ombak hanya dianggap sebagai riak-riak kecil. Selain berusaha sekuat tenaga, juga berserah diri pada Sang Maha Pencipta, sehingga tak tergoyahkan oleh terjangan topan dan bada I.
T joa Kim Liong, demikianlah orang tuanya memberi nama anaknya yang selanjutnya—entah siapa yang mengubahnya—menjadi Tjiptadinata. Sedangkan nama belakangnya Effendi, itu mengambil dari nama ayahnya Effendi. Akhirnya nama lengkapnya menjadi Tjiptadinata Effendi. Nama sederhana tanpa gelar bagaikan pakar, tanpa titel berjubel-jubel, namun aktivitasnya, kontribusinya dan edukasinya jangan ditanya, banyak orang salut dan kagu M.
A ntartika, mungkin benua yang belum beliau jelajahi. Benua Eropa, Benua Asia, Benua Amerika, Benua Afrika, Benua Australia apa lagi dimana beliau berdomisili semua sudah pernah dijadikan sebagai destinasi. Tentunya secara otomatis negara-negara atau kota-kota yang ada dibenua tersebut sebagian telah di kunjungi juga. Kini Bapak Tjiptadinata Effendi bersama isteri tercinta Ibu Roselina Tjiptadinata meski telah menginjakkan kaki di nyaris semua benua, mereka masih betah tinggal di benua kangur U.
D isiplin adalah atribut yang masih melekat pada dirinya hingga kini. Pasalnya, sejak kecil alam bawah sadarnya telah tersugesti oleh ketegasan ayahnya yang menghunjam dalam-dalam pada memorinya. Sikap tegas dan disiplin ayahnya dijadikan sebagai cambuk dan energi manakala beliau terperosok dalam keterpuruka N.
I mpian (cita-cita)nya setinggi langit seperti yang selalu dianjurkan kepada para muda. Mencuplik orasi sang orator ulung Bung Karno kepada para pejuang dan para pemuda di era perjuangan “Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang dilangit”. Bukan hanya berteori, tak pula isapan jempol belaka. Apa yang sering diucapkannya itu dapat dibuktikannya dengan tindakan nyata. Tentunya dengan disiplin, serius, sunguh-sungguh, dan membuang jauh-jauh rasa mala S.
N ilai-nilai kemanusiaan yang telah tertanam dalam dirinya sejak kecil, seperti misalnya ketika seorang perempuan tua memberi sepotong ubi rebus kepadanya, tak pernah lekang dari ingatannya. Itulah kenapa beliau tak sampai hati, bahkan terkadang tak sadar meneteskan air mata, bila melihat seseorang dalam keadaan miskin dan lapar. Dan bukan hanya merasa iba, beliaupun memberikan sesuatu yang dibutuhkan oleh orang tersebut, seperti yang dilakukan perempuan tua terhadap dirinya. Andaikata para calon anggota legislatif berkampanye dengan cara seperti yang dilakukan Bapak Tjiptadinata, saya jamin tak perlu susah-susah pasang balih O.
A rif dan bijaksana, saya rasa tak berlebihan jika saya mengatakan bahwa itu salah satu dari sifat atau julukan yang layak beliau sandang. Meskipun hidupnya pernah diluluh lantakkan oleh “sahabatnya” Pak Tjip tak pernah dendam dan mau memaafkannya, sungguh arif dan bijaksana. Pengejawantahan dari salah satu renungannya dalam buku Beranda Rasa, “Hidup tanpa dendam, tanpa kebencian, sungguh-sungguh menghadirkan ketenangan batin yang luar biasa. Bagi orang kebanyakan hal itu sesuatu yang tak masuk aka L.