Disuatu pagi teman saya datang kerumah mengajak saya untuk kondangan ditempat Pak Lurah. Sebelum pilpres Pak Lurah memang punya nazar, jika Jokowi menang beliau akan mengadakan pesta yang sangat meriah, sekalian sambil menikahkan anak sulungnya.
Teman saya itu bernama PS. Maaf, terpaksa inisialnya saja yang saya tulis. Kurang enak dan tidak etis jika langsung saya sebut namanya Pain Saptaman. Yaaaah, demi menjaga privasi beliaulah.
Hari Minggu pukul 8.30 wib, kami (saya dan PS) sampai di gerbang rumah Pak Lurah yang sudah dihiasi umbul-umbul dan janur kuning. Belum ramai, belum banyak tamu undangan yang datang, maklum hari masih pagi, bahkan peralatan sound system orgen tunggal baru disusun-susun.
Kami disambut dan disalami oleh seorang sinoman. Dan kami langsung dipersilakan menuju ke tempat hidangan yang disediakan. Lengkap, ada soto madura, soto makasar, ayam goreng, opor bebek, gulai kambing, rendang jengkol, semur ayam pedes, sambal goreng bihun, pergedel kentang, sambal terasi, daun ubi rebus, dan masih banyak lagi. Pokoknya kuliner nusantara nyaris ada semua disini.
Tanpa basa-basi teman saya Pain Saptaman, eh maaf PS langsung menyambar piring yang ada di meja hidangan dan menyaut centong nasi yang ada di tutup rice cooker. Lantas tangan kanannya aktif memindahkan sambal yang ada dihadapannya ke piring di tangan kirinya. Tak kalah aktif, matanya pun jelalatan menyapu baskom-baskom wadah hidangan. Alhasil piring itupun nyaris tak kelihatan permukaannya karena tertutup oleh—selain nasi—berbagai macam sambal dan lauk pauk yang menggunung. Dua potong paha ayam, satu potong brutu bebek, lima tangkup rendang jengkol dan masih ditambah dengan empat sendok acar timun, dan tiga keping kerupuk emping.
Saya hanya mengambil seperlunya saja, setengah centong nasi, sedulit sambal terasi dan daun ketela rebus serta satu keping kerupuk palembang. Sekadar basa-basi, ketimbang nggak makan sama sekali, nanti dikira tidak menghormati tuan rumah.
Melihat piring Mas PS yang sangat menderita akibat over loaditu, saya pun lantas menegur Mas PS.
“Mas PS, kok sampe methuthuk munjung-munjung gitu to Mas, apa habis nanti” bisik saya pada Mas PS.
“Kuebbbetulan duari rumah belum sarapan Pak Dhe, luapppperrr.Maklum nggak ada yang masakin ” jawab PS sambil mencucu karena mulutnya dipadati dua biji rendang jengkol dan tangan kanannya mengepal paha ayam, sementara di jari tangan kiri terselip kerupuk emping.
“Laper ya laper, tapi kok sampe begitu, malu kita lho dilihat orang, nggak etis Mas PS” keluh saya.
“ Dhe, ini kan konstitusional, nggak ada larangan, artinya diperbolehkan, apa gunanya disediakan kalo ndhak untuk dimakan, dan bila perlu dihabisin”,bantah PS agak ngotot.
“Mentang-mentang nggak ada larangan, lantas semua mau dilahap, kasian yang belakang nanti Mas, mbok ya sudah, apa nggak begah perutnya, mbledhos baru tahu kamu”, ancam saya.
“Hahahaha....kelihatan kalo orang bodoh nggak berpendidikan Pak Dhe ini. Kita kemari kan diundang, bukan kemauan kita. Lagian dalam undangan kan nggak ada tulisan dilarang makan atau dilarang makan banyak-banyak, jadi artinya, dalam undangan pesta, makan apapun atau makan sebanyak-banyaknya pun diperbolehkan, itu artinya KONSTITUSIONAL, paham?”, cibir PS pada saya.
“ Ya wis, sakkarepmu, arep nggaglak sak mbledhose wadhukmu, arep diklethak sak piringe, arep dibrakotsak mejane, nek perlu sak tarube pisan kok untal, terserah kowe sing penting KONSTITUSIONAL, jaremu” , tukas saya seraya beranjak meninggalkan PS sendiri yang masih asyik mbrakoti brutu bebek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H