Mohon tunggu...
PAK DHE SAKIMUN
PAK DHE SAKIMUN Mohon Tunggu... pensiunan penjaga sekolah -

Sedang menapaki sisa usia. Mencari teman canda di dunia maya. Hobi apa saja termasuk membaca dan (belajar) menulis. Bagi saya belajar itu tak berbatas usia. Menuntut ilmu dari ayunan hingga liang lahad. Motto : Seribu orang teman sangat sedikit, dan satu orang musuh terlalu banyak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dursasana : “ Saya yang menang Werkudaraaa, karena saya bisa melihat langit”

10 Juli 2014   03:36 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:49 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14049126941486565851

[caption id="attachment_314778" align="aligncenter" width="600" caption="Aku menang, karena masih bisa melihat langit. Dok.pri"][/caption]

Sejak kecil saya sudah sering ikut kakek saya mendalang. Mulai dari menyimping wayang hingga mempersiapkan tokoh wayang apa yang akan dimainkan pada saat pertunjukan sesuai lakon yang akan dimainkan.

Tokoh yang menjadi idola saya adalah Bima atau Werkudara dan para kesatria Pandawa. Dan tentu ada tokoh yang tidak saya sukai, yakni Dursasana beserta para Kurawa. Saking banyaknya saudara-saudara kurawa—dalam cerita Mahabrata ada 100 orang bersaudara—, kakek saya mengistilahkan Kurawa itu “Mblakrah kakehan cacah”, hanya banyak jumlahnya, tapi minim kualitas. Mungkin kalau dalam bahasa orang sekolahan “Kurawa hanya menang kuantitas”.

Ada yang sampai sekarang sulit saya lupakan, yakni ketika kakek saya memerangkan Werkudara dengan Dursasana—diberbagai cerita apapun, asal ada Pandawa dan Kurawa—pasti Dursasana dipertemukan dengan Werkudara. Belum pernah saya melihat Dursasana menang melawan Werkudara.

Berikut beberapa cuplikan adegan peperangan antara Werkudara melawan Dursasana yang dimainkan oleh kakek saya waktu itu.

Dalam wayang kulit semua ada aturannya, termasuk juga sabetan dan memerangkan wayang. Bukan hanya sekadar diadu seperti nggebugi kasur blag blug blag blug. Meski demikian agar tidak monoton atau kurang greget, dalang harus kreatif dan berani berimprovisasi.

Dalam sebuah cerita, Werkudara sedang perang melawan Dursasana. Adu atosing balung wuleding kulit. Setelah prapatan, samberan, jotosan, dan bantingan, akhirnya Dursasana dapat dijatuhkan oleh Werkudara. Dalam posisi terlentang Dursasana tak bisa berkutik lantaran diinjak tepat pada perutnya dan dicekik lehernya oleh Werkudara.

Dursasana itu wataknya ngodor, ngotot dan tidak mau dibilang kalah meskipun tubuhnya sudah dihimpit.

Werkudaraaaa......kamu kalah” kata Dursasana dalam posisi masih diinjak oleh Werkudara.

Kamu yang kalah Dursasana, karena kamu tidak bisa bergerak, hanya kakimu yang gejol-gejol” jawab Werkudara.

Tapiiii....saya yang menang Werkudara, meskipun kamu menghimpit saya” teriak Dursasana ngodor dan ngotot.

Apa dasarnya kamu bisa bilang menang, Dursasana” tanya Werekudara.

Yah, sss saya yyy yang menang Werkudara, kkkk karena saya bbbbbisa melihat langit, hkhkhkhk

Itulah watak dan karakter Dursasana, meskipun tubuhnya sudah tak bisa bergerak, bahkan hampir kehabisan nafas, masih bilang dia yang menang.

Beruntung kakek saya masih punya perikewayangan, akhirnya kakek saya melepaskan cekikan dan mengangkat kaki Werkudara dari perut Dursasana.

Mudah-mudahan nggak ada orang yang seperti Dursasana. Sudah jatuh terlentang dan dihimpit masih mengaku menang, dengan alasan masih bisa melihat langit.

Hoalaah.....Duuuurrr.....Duuurrr...hehehehehe...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun