Masih ingat pemilu 1999? Pemilu yang diikuti oleh 48 partai peserta pemilu itu, PDIP unggul dengan meraup suara terbanyak, 35%. Urutan ke dua Partai Golkar 22%, diikuti oleh PPP, PKB dan PAN.
Logikanya yang layak menjadi presiden adalah Megawati, pasalnya partainyalah yang menjadi pemenang pada pemilu 1999 tersebut. Namun faktanya Megawati dibuat KO oleh Poros Tengah besutan Bapak Reformasi(?) kita, yakni Bapak Profesor Doktor Haji Muhammad Amin Rais. Waktu itu belum bergelar profesor.
Mengapa dibentuk poros tengah? Alasannya demi keamanan lebih kondusif. Karena, kata Pak Profesor waktu itu akan terjadi friksi antara masa Partai PDIP dan Partai Golkar, maka solusisnya dibikin poros tengah yang terdiri dari beberapa partai yang berbasis masa Islam. “Untuk meredam gejolak politik” ujar mantan ketua partai yang berlambang matahari putih itu. Pinter ya, Pak Profesor ini . Namanya Profesor ya harus “pinter”.
Setelah terbentuk poros tengah, mulailah Pak Profesor bersama anggotanya mengumpulkan “amunisi” guna untuk membombardir Megawati. Isu pertama yang dilontarkan oleh Bapak Profesor, presiden harus cerdas dan berpendidikan tinggi, kata Pak Profesor kita, hal itu tak dimiliki oleh Megawati, konon Megawati hanya lulusan SMA, makanya Megawati harus di halangi. “Masa negara sebesar ini presidennya hanya lulusan SMA”. Setelah isu itu dapat ditepis, muncullah isu berikutnya yang dijadikan peluru, adalah tentang gender. Seorang perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, apalagi memimpin negara. Hal itu sempat menjadi pro kontra dikalangan para ulama saat itu. Perang ayat dan hadis pun tak terelakkan. Lagi-lagi peluru itu tak mampu menembus pertahanan Mega yang didukung oleh rakyat. Karena isu gender dianggap tidak mempan untuk menghalangi Mega, maka rudal SARA pun dilontarkan oleh Bapak Profesor yang “cerdas” dan “intelek” itu. Menjadi presiden yang warganegaranya mayoritas Islam, harus beragama Islam, sedangkan Megawati bukan Islam. Pinter ya Pak Profesor. Namanya Profesor ya harus “pinter”. Profesor apa provokator?
Hampir putus asa Bapak Poros Tengah kita itu. Berbagai amunisi sudah dihamburkan, tapi masih belum bisa menggoyahkan Mega untuk menjadi Presiden pilihan MPR. Lah wong jelas suaranya terbanyak kok diotak-atik untuk dikalahkan, o alah Miiinnn....Amin, eh Proooff....Prof. Ya namanya POLITIK, Perlu diOLah dan diotak-aTIK. Ternyata memang Pak Profesor ahli dibidang otak-atik. Namanya juga Profesor, ya harus “pinter”.
Bukan profesor namanya kalau kehabisan akal. Masih ada satu senjata “pamungkas” untuk mengganjal Mega ke Istana. Gus Dur, ya Gus Dur satu-satunya sosok yang bisa dijadikan “ganjal”. Padahal semua tahu bahwa Gus Dur terang-terangan mendukung Mega menjadi presiden kala itu. “Saya mendukung Mbak Mega” ujar Gus Dur ketika ditanya oleh wartawan.
Kalangan NU menolak Gus Dur dijadikan presiden, pasalnya selain NU dan/atau PKB juga mendukung Megawati seperti Gus Dur, NU/PKB membaca ada gelagat tidak baik (baca:licik) yang didesain oleh Pak Profesor. Ada perasaan bahwa Gus Dur hanya akan dijadikan alat mengganjal Megawati. Bahkan ada warga NU yang mengatakan bahwa Gus Dur hanya dijadikan “mainan”. Dan itu memang akhirnya terbukti.
Setelah mendapat penolakan dari orang-orang terdekat Gus Dur, Profesor Poros Tengah itu akhirnya sowan pada Kiai Langitan untuk minta restu dan dukungannya agar Gus Dur menjadi presiden RI periode 1999-2004. Dengan berbagai argumentasi di ajukan pada Kiai Langitan, akhirnya luluh juga para kiai, meski dalam batinnya tidak rela. “Sebetulnya, biarlah Gus Dur dijadikan “begawan” atau sesepuh saja, untuk berkarya buat kemajuan bangsa, tidak harus menjadi presiden” celetuk salah seorang kiai.
Pulang dari Kiai Langitan, Pak Profesor langsung menemui Gus Dur, dan ini bisiknya pada Gus Dur: “ Hanya Anda satu-satunya di Indonesia yang layak menjadi presiden”. Gus Dur pun akhirnya bersedia setelah mendapat “kehormatan(?)” dari Poros Tengah dibawah pimpinan Bapak Reformasi itu. Dan Gus Dur pun menjawab dengan celoteh khas gayanya: “Mas Amin dukung saya, saya dukung Mbak Mega, Mbak Mega dukung Mas Amin....hehehehe.....muter jadinya”.
Akhirnya apa yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan bahwa Gus Dur hanya dijadikan tumbal terbukti. Sebetulnya yang berambisi ingin jadi presiden itu Bapak Profesor sendiri, lantaran beliau merasa yang paling hebat, dan berjasa melengserkan Soeharto waktu itu. Namun, karena suaranya tidak mencukupi syarat maka membentuk Poros Tengah, untuk mengotak-atik (merekayasa) agar Mega terhalang menuju Istana. Mengapa Pak Profesor “alergi” terhadap Mega? Gengsi! Ya gengsi, dan “hargadiri”, masa Profesor kalah sama SMA!
Apakah peristiwa itu akan diulang kembali pada pilpres 2014 ini? Untuk mengelabui rakyat, oleh Bapak Profesor beserta rekannya namanya diubah dari Poros Tengah (Porteng) menjadi Poros Indonesia Raya (Porindra). Sudahlah Prof, mau dibikin nama poros-poros apapun, tujuannya jelas cetha wela-wela terang benderang yakni untuk mengganjal Jokowi, ya kan? Halah jujur saja lah. Malu, karena ambisinya menjadi presiden kandas, ini malah ada tukang mebel yang berpeluang besar menjadi presiden, masa profesor kalah sama tukang mebel.
Kalau dulu terserahlah lantaran presiden dipilih oleh MPR, sekarang rakyat yang memilih langsung. Biarkan rakyat memilih sesuai hati nuraninya, nggak usah dihasut dan diprovokasi lagi. Kita dukung saja yang menang, nggak perlu ada poros-porosan mbel gedhes.
Ada yang mengatakan partai Islam suaranya signifikan dan apabila bersatu bisa mengajukan capres dan cawapresnya sendiri. Apanya yang signifikan, buktinya semua perolehan suaranya dibawah 10%. Bahkan ada yang hanya mendapat kurang dari 2%. Memang kalau digabung bisa lebih dari 30%. Tapi masalahnya siapa yang akan didukung menjadi capresnya. Lah wong semua juga ingin menjadi capres. Apakah Hatta Rajasa? atau Anis Matta? atau Muhaimin? Atau Yusril? atau Surya Darma Ali? Nah yang terakhir ini malah sedang cakar-cakaran dengan anggotanya sendiri. Aneh perolehan suaranya sedikit kok maksa mau jadi penguasa.....hahahaha.
Kalau mau kuat bikin satu saja partai yang berideologi Islam, jadi suaranya nggak terpecah berserakan seperti sekarang. Tapi kalau semua motivasinya hanya kekuasaan, ya mustahil akan bisa terbentuk hanya satu partai Islam. Lah wong yang satu partai saja eker-ekeran hingga cakar-cakaran kok.
Atau, bila perlu tidak usah ada partai Islam. Nggak usah diaduk-aduk politik dengan agama. Politik ya politik, agama ya agama kalau diubleg-ubleg ya ini jadinya, ribut, kisruh, ricuh, rusuuuuh melulu.
Soto ayam enak dan nikmat, kopi luwak sedap dan segar, coba di ubleg jadi satu soto ayam campur kopi luwak, apa rasanya, pernah mencoba?
-----
NB: Saya bukan kader salah satu partai, saya juga bukan simpatisan salah satu partai. Saya bukan pengamat politik, meski suka mengamati politik. Saya hanya rakyat biasa yang menginginkan situasi dan kondisi aman dan kondusif, agar mencari nafkah tidak terganggu. Himbauan saya pada Bapak-bapak para elit politik, janganlah kekuasaan dijadikan tujuan akhir. Sebab jika itu tujuan Anda berpolitik, maka apapun caranya akan Anda lakukan, termasuk sindir menyindir, jegal menjegal. Berilah kami tuntunan yang baik dan terpuji, bukan tontonan yang memuakkan dan menjijikkan. Masa orang intelek (berpendidikan tinggi) kok perilakunya kayak...tel....(isi sendiri).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H