[caption id="" align="aligncenter" width="544" caption="Cium tangan (Tribunnews.com)"][/caption]
Ada tradisi yang sudah berurat berakar di Indonesia di bulan Syawal, yaitu tradisi Syawalan atau Halal bi Halal (HBH). Kendati dalam perspektif hukum syari'ah masih menuai kontroversi, namun secara budaya aktivitas itu sudah menjadi milik bangsa Indonesia. Semua instansi baik pemerintah maupun swasta menggelar agenda Halal bi Halal di bulan Syawal. Bahkan, karena sempitnya waktu, ada yang menggelar HBH di bulan Dzulqa'dah.
Pandi Yusron dalam tulisannya di Republika menjelaskan, kontroversi itu sejak dari penamaan istilah Halal bi Halal, karena menurut keyakinan mereka yang menolak, istilah itu secara gramatika Bahasa Arab tidak benar. Sebagian yang lain menentang kegiatan ini karena ada ritual saling memafkan, sementara mereka meyakini mengkhususkan maaf hanya pada Hari Raya Idul Fitri itu tidak dibenarkan secara syariat alias bid'ah.
Memahami Makna Halal Bi Halal
Kita keluar dari kontroversi hukumnya, namun kita coba memasuki maknanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Halal bi Halal diartikan sebagai hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok orang. Ensiklopedi Indonesia (1978) menyebutkan bahwa Halal bi Halal berasal dari Bahasa Arab yang tidak berdasarkan gramatikanya yang benar sebagai pengganti istilah silaturrahmi.
Drs. H. Ibnu Djarir menulis bahwa sejarah dimulainya HBH ada banyak versi. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, kegiatan ini mula-mula digelar oleh KGPAA Mangkunegara I, yang masyhur dipanggil Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka usai melaksanakan shalat Idul Fitri, segera diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Istilah Halal bi Halal secara sederhana bisa dimaknai sebagai "thalabu halal bi thariqin halal"; mencari kehalalan dengan cara yang halal. Bisa pula dimaknai sebagai "al-halal yujza'u bi halal"; kehalalan dibalas pula dengan kehalalan.
Dalam tinjauan hukum fikih, kata "halal" adalah lawan dari "haram". Halal bi Halal bisa dimaknai sebagai usaha untuk menjadikan berbagai hal yang haram dan berakibat dosa serta membuat hubungan tidak baik dengan orang lain, menjadi halal dan memperbaiki hubungan dengan jalan mohon maaf.
Secara bahasa, kata halal bisa memiliki berbagai makna, antara lain: menyelesaikan masalah, meluruskan benang kusut, melepaskan ikatan, mencairkan yang beku, dan membebaskan sesuatu. Jika langsung dikaitkan dengan kata dzanbin; "halla min dzanbin", akan berarti mengampuni kesalahan.
Dengan demikian, Halal bi Halal akan menjadi suatu aktivitas yang mengantarkan pelakunya untuk menyelesaikan masalah dengan keluarga, saudara, sahabat, kolega dan manusia pada umumnya. Selain itu, HBH juga berupaya menjernihkan hubungan kekeluargaan, persahabatan, pertemanan yang sudah mulai kusut. HBH juga upaya menghapuskan serta membersihkan dosa dari keluarga, teman, saudara dan manusia pada umumnya dengan jalan saling memaafkan. HBH juga usaha mencairkan hubungan yang sudah mulai membeku sehingga menjadi segar dan harmonis kembali.
Banyak hadits Nabi mengajarkan kepada kita agar selalu menyambung silaturahim, dan tidak memutuskannya. Nabi Saw bersabda, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka sambunglah tali silaturrahmi" (HR. Al-Bukhari). Demikian pula sabdanya, "Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah tali persaudaraan" (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Keharmonisan Keluarga
HBH dan Syawalan dilaksanakan setelah umat Islam menjalankan puasa sebulan penuh saat Ramadhan. Tujuan dari puasa Ramadhan adalah agar menjadi orang yang bertaqwa (la'allakum tattaqun). Maka, jika benar puasanya, akan meningkat takwanya. Jika meningkat takwanya, semakin baik akhlaknya.
Jika semakin baik akhlaknya, semakin mulia perlakuan terhadap istri atau suaminya. Jika semakin mulia perlakuan terhadap pasangannya, semakin sakinah keluarganya. Jika semakin sakinah keluarganya, semakin bahagia hidupnya. Jika semakin bahagia hidupnya, semakin banyak kesuksesannya.
Semestinyalah dengan puasa Ramadhan, ditambah puasa enam hari di bulan Syawal, akan menambah berbagai macam kebaikan, termasuk dalam keharmonisan keluarga. Semakin harmonis kehidupan keluarga setelah melewati berbagai macam ibadah di bulan Ramadhan.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa makna Syawal adalah meningkat. Setelah melewati bulan pendadaran Ramadhan, diharapkan ada berbagai peningkatan di bulan Syawal.
Tentu diharapkan di bulan Syawal ini akan meningkat imannya, meningkat takwanya, meningkat derajatnya, meningkat ekonominya, meningkat sosialnya, meningkat kebaikannya, meningkat keharmonisan keluarganya, meningkat rasa cintanya, meningkat kasih sayangnya, meningkat romantismenya, meningkat kesetiaannya, meningkat tanggung jawabnya, meningkat pengertiannya, meningkat ketenteramannya, meningkat kesejahteraannya, meningkat pula amal ibadahnya.
Sumber rujukan : Pandi Yusron, "Pengertian Halal bi Halal", dalam : http://www.republika.co.id/berita/komunitas/perhimpunan-pelajar-indonesia/12/08/27/m9f0oi-pengertian-halal-bi-halal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H