Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Suatu Siang di Warung Gudeg Bu Amad

19 Maret 2015   11:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:26 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1426738593769162079

[caption id="attachment_403963" align="aligncenter" width="511" caption="ilustrasi : www.kuliner.panduanwisata.id"][/caption]

Perempuan tua itu duduk tenang di bangku, pada sebuah pojok warung Gudeg mBarek Bu Hj. Amad. Mungkin usianya sudah di atas tujuh puluh tahun. Mengenakan jilbab dan busana muslimah yang tampak rapi. Di depannya ada sepiring nasi gudeg dan teh panas. Sangat pelan ia menikmati hidangan siang tersebut. Sesekali berhenti makan, lalu dilanjutkan lagi.

Duduk di hadapan ibu tua itu seorang anak muda, mungkin anaknya. Laki-laki, usia anak kuliahan. Dari tadi hanya duduk diam sambil memainkan smartphone. Mungkin main game, atau sedang komunikasi dengan teman-temannya melalui WhatsApp, namun tampak asyik sendiri. Tidak ada obrolan di antara mereka berdua. Si ibu tua tengah menyantap gudeg, si anak muda bermain gadget.

Sesungguhnya aku datang belakangan. Begitu masuk ke warung Bu Amad, aku langsung memesan makanan favoritku, “gudeg tanpa gudeg”, itu istilah yang sering aku gunakan. Aneh saja rasanya, orang Jogja tidak suka gudeg nangka, namun senang dengan racikannya. Kecuali bagian nangka mudanya, itu saja. Yang lain aku sangat menikmati. Sambal goreng krecek pedas, ayam paha bawah, tempe dan ditambah areh. Ini menu favorit di warung gudeg bu Amad sejak aku masih kuliah di UGM dulu.

Sampai aku selesai menyantap makanan itu, aku masih melihat ibu tua duduk di bangku pojok. Belum beranjak juga. Si anak laki-laki juga asyik dengan gadgetnya. Usai cuci tangan di wastafel, aku segera menuju kasir untuk membayar. Kemudian berjalan ke pintu keluar menuju tempat parkir. Sebelum masuk mobil, aku sempatkan memperhatikan sekali lagi pemandangan di bangku pojok itu.

Ya, seorang ibu tua. Makan gudeg di warung Bu Amad. Ditemani atau diantar anak laki-lakinya. Bagi orang lain, tidak ada yang menarik dari pemandangan ini. Biasa saja, dan banyak dijumpai dimana-mana. Namun bagiku, pemandangan itu sesuatu banget. Benar, sesuatu banget.

Aku langsung teringat kepada istriku tercinta, Ida Nur Laila, dan anak lelakiku yang bungsu, Revolusi Qalba Qaumy. Aku seperti melihat keduanya di masa depan, duapuluh tahun dari sekarang.

Pikiranku melayang jauh. Mengenang bapak kandungku yang telah lama tiada, tinggal ibu seorang, di kampung halamanku. Mengenang bapak mertua yang juga sudah berpulang ke haribaanNya, tinggal ibu mertua yang masih bersama kami. Sering aku membayangkan kondisi serupa. Tidak bermaksud mendahului takdirNya, bahwa aku menghadap Allah lebih dulu dibanding istriku. Sebagaimana bapak kandung dan bapak mertuaku yang berpulang terlebih dahulu.

Jika demikian yang terjadi, aku bayangkan istriku akan sendirian membersamai anak-anak dan cucu-cucu kami. Seperti yang aku lihat pada ibu kandungku dan ibu mertuaku saat ini, mereka asyik menemani cucu-cucu yang tak bosan mengganggu. Nenek yang menghabiskan waktu bersama anak-anak, menantu dan cucu-cucu. Tentu saja suatu ketika ada rasa rindu yang mengganggu, saat mengenang suami mereka yang telah tiada.

Teringat masa-masa bersama yang penuh keindahan dan rasa bahagia. Bagi ibuku dan ibu mertuaku, kini semua tinggal kenangan.

Terbayang ketika masa itu tiba. Istriku akan menua, seiring pertumbuhan anak-anak kami yang semua beranjak dewasa. Revo, anak sulung yang telah menyelesaikan kuliahnya. Tinggal sendiri di rumah menemani ibunya yang sudah tua. Anak-anak yang lain sudah bertebaran tempat tinggalnya. Sesekali waktu mereka berkumpul bersama, seperti saat lebaran Iedul Fitri atau Iedul Adha. Mereka berkumpul, mendoakan diriku yang telah tiada.

Ada waktu-waktu berat yang akan dilalui istriku tercinta. Saat ia mengenang masa-masa indah yang pernah kami lalui berdua. Melewati hidup berumah tangga yag penuh dinamika. Kami berdua telah menjadi sepasang sahabat setia, lebih dari sekedar ikatan suami istri yang sah menurut agama dan negara. Kami telah melewati hidup dengan sepenuh kenangan dan kebahagiaan bersama.

Aku tahu ia sangat mencintaiku dan tidak ingin kehilangan aku. Akupun demikian, sangat mencintai istriku dan tidak ingin kehilangannya. Hanya kematian yang memisahkan kami berdua. Dan berharap kelak dikumpulkan kembali di surgaNya.

Aku membayangkan, saat kerinduan muncul begitu kuatnya, istriku ingin mengenangku dan menemui memori bersamaku di tempat-tempat favorit kami saat masih bersama dulu. Ia tahu, Warung Gudeg Bu Amad adalah salah satu tempat nongkrong favoritku.

Suatu siang, ia meminta Revo untuk mengantarkannya makan siang ke Warung Gudeg  Bu Amad. Dengan mengendai mobil kami yang sudah semakin tua, Revo mengantar ibunya.

Sesampai di Warung Bu Amad, seakan istriku telah melihat aku sedang duduk di sana. Ia pun duduk di bangku pojok. Memesan menu favoritku. “Gudeg tanpa gudeg”, dan segelas teh panas tanpa gula. Ia mulai menikmati menu itu, pelan saja. Sambil merasakan kehadiranku di dekatnya. Sementara Revo duduk saja sambil memainkan gadget, menunggui ibunya yang betah duduk berlama-lama.

Istriku memandangi menu istimewa itu. Seakan ia berkata kepadaku, betapa ia mencintaiku dan merindukanku. Ia ingin bercerita banyak hal yang dilaluinya sendiri. Perkembangan anak-anak kami. Cerita tentang cucu-cucu kami. Pohon buah di belakang rumah kami. Bunga-bunga di depan rumah kami. Tamu-tamu yang sering datang ke rumah kami. Ia ingin menumpahkan semua cerita yang sudah lama dipandamnya sendiri. Namun ia sadar, aku sudah tiada. Ia hanya duduk saja, diam berlama-lama. Memandangi nasi ‘gudeg tanpa gudeg’ yang di hadapannya.

Sampai akhirnya Revo menegurnya, “Umi, sudah selesai?”

Ia terkejut. “Sebentar Nak, Umi akan menyelesaikannya. Tinggal sedikit saja nih....”

Namun tiba-tiba, “Tet teeet....” bunyi klakson berbunyi keras sekali. Aku terhenyak, suara klakson mobil itu membuyarkan lamunanku.

Aku terkejut, tanpa terasa ternyata aku berdiri saja di dekat mobilku dari tadi. Sampai menghalangi mobil yang akan ke luar di belakang mobilku. Aku segera masuk mobil, dan meninggalkan Warung Makan Gudeg Bu Amad. Meninggalkan ibu tua itu bersama anak lelakinya yang masih duduk.

Bersyukur aku masih ada. Aku segera pulang menemui istriku tercinta yang belum begitu tua, dan anakku Revo yang masih sekolah di SD kelas dua. Alhamdulillah, aku akan terus menemani mereka, sepanjang waktu yang masih tersisa....

Alhamdulillah.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun