Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Suami yang Layak Ditaati Istri

28 Januari 2015   13:36 Diperbarui: 4 April 2017   17:31 23765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1422401605304174775

[caption id="attachment_393622" align="aligncenter" width="400" caption="ilustrasi : www.dorion55.blogspot.com"][/caption]

Apakah semua suami layak ditaati istri? Hmmm.... Kita bahas dulu. Pelan-pelan saja....

Salah satu karakter istri salihah adalah mentaati suami. Satu sisi ini adalah sebuah tuntutan sikap bagi para istri terhadap suami. Namun tentu saja harus ada peran suami yang sangat penting, agar istri selalu bisa taat kepada dirinya. Karena ketaatan terhadap suami bukanlah bersifat mutlak, namun bersifat 'bersyarat'. Ketaatan mutlak itu hanya kepada perintah Allah dan Nabi, sedangkan terhadap manusia selalu ada syarat yang menyertainya. Termasuk ketaatan terhadap suami.

Sebagaimana telah saya posting sebelumnya, tentang tiga jenis ketaatan istri terhadap suami, bahwa suami memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan ketaatan istri terhadapnya. Bagaimana suami bersikap dan menempatkan diri, maka seperti itu pula istri akan meresponnya. Oleh karena itu, jika memang suami menghendaki istrinya taat dengan landasan hormat dan cinta, maka suami harus bisa memerankan diri secara patut untuk diberikan respon sesuai harapannya.

Peran Suami dalam Menciptakan Ketaatan Istri

Para suami hendaknya pandai menempatkan diri di dalam kehidupan keluarga, dengan sikap, perbuatan, ucapan yang membuat istri merasa diterima, dihormati dan dicintai. Hendaknya suami berusaha untuk melakukan beberapa tindakan berikut

1.Menciptakan Pola Interaksi dan Komunikasi yang Menyenangkan

Di antara hal yang sangat penting perannya dalam membentuk kebahagiaan hidup berumah tangga adalah pola interaksi dan komunikasi antara suami dan istri. Jika suami pandai menciptakan pola interaksi dan komunikasi yang menyenangkan, maka istri akan merasa nyaman dan tenang bersama suami. Suami tidak melakukan tindakan yang sewenang-wenang atau semena-mena terhadap istri. Suami tidak melakukan tindakan kekerasan baik fisik maupun psikis yang menyebabkan istri tersakiti dan terzalimi.

Suasana interaksi dan komunikasi yang searah, tidak dialogis, cenderung instruktif, apalagi jika bersifat intimidatif, yang muncul hanyalah suasana ketakutan. Istri memberikan ketaatan kepada suami dalam suasana yang terpaksa dan penuh rasa takut. Hal seperti ini adalah sebentuk teror yang tidak menyenangkan dan tidak membahagiakan bagi istri. Istri takut dan ngeri ketika bertemu suami, bahkan berharap suaminya selalu pergi dan tidak pernah kembali.

Namun jika suasana interaksi dan komunikasi berlangsung dua arah, dialogis, suami membimbing dan mengarahkan istri dengan kelembutan, tentu akan membawa pengaruh yang menyenangkan bagi istri. Suami tidak mengedepankan perintah dan larangan dalam berinteraksi dan berkomunikasi, namun lebih mengedepankan musyawarah untuk memunculkan kerelaan istri dalam melaksanakan arahan suami.

2.Mengerti Kondisi dan Perasaan Istri

Hendaknya suami selalu berusaha mengerti kondisi dan perasaan istri. Pengertian suami adalah “sesuatu banget” bagi istri. Ketika istri tengah kelelahan, suami tidak lagi menambah daftar pekerjaan yang semakin memberatkan. Bahkan suami dengan ringan membantu dan terlibat menyelesaikan pekerjaan sang istri. Ketika istri tengah repot mengurus anak-anak yang masih kecil, suami bisa mengerti dan tidak menambah perintah atau permintaan yang membuat semakin merepotkannya.

Ketika istri tengah sedih, suami bisa menghibur dan menyenangkan hatinya. Ketika istri tengah galau, suami bisa menguatkan hatinya. Saat istri menangis, suami memeluknya. Saat istri ingin curhat, suamu bersedia mendengarkan keluh kesahnya. Saat istri marah, suami bisa meredamkannya. Pengertian suami terhadap kondisi dan perasaan istri akan membuat istri merasa diterima dan dihormati oleh suami. Situasi ini yang akan membuat istri mudah mentaati keinginan dan perintah suami, karena ia yakin suaminya sangat pengertian.

Kalimat berikut menandakan suami mengerti kondisi dan perasaan istri:

“Apa yang bisa aku bantu Dek? Sepertinya engkau repot banget nih...”

“Aku saja yang ngurus si kecil Dek, biar kamu bisa ngurus dapur....”

“Kamu istirahat dulu saja Dek. Aku bisa nyiapin makan malam sendiri kok...”

Tentu istri akan sangat senang jika suami bisa memahami kondisi dan perasaan istri, apalagi ditambah dengan menawarkan bantuan yang sangat diperlukan istri. Pengertian suami benar-benar membahagiakan bagi istri.

3.Mendialogkan Keinginan dengan Istri

Hendaknya suami senang mendialogkan keinginannya dengan istri. Dengan demikian, keinginan suami tidak perlu diungkapkan dalam bentuk kalimat perintah, namun sudah bisa membuat istri melaksanakan apa yang diinginkan suami. Coba kita ingat kembali pelajaran penting dari keluarga Nabi Ibrahim dalam hal musyawarah. Perhatikan bagaimana Nabi Ibrahim membahasakan “kalimat perintah dari Allah” menjadi “kalimat musyawarah kepada Ismail”.

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” (Ash  Shaffat: 102).

Sebagai Nabi, mudah saja bagi Ibrahim as untuk menyampaikan perintah, “Aku diperintahkan oleh Allah untuk menyembelihmu, dan aku akan mentaati perintah Tuhanku”. Dengan bahasa perintah seperti itu, pasti Ismail akan taat dan patuh. Namunbukan itu bahasa yang beliau pilih. Ibrahim mengajarkan kepada kita pentingnya sikap penerimaan yang tulus dalam melaksanakan perintah. Ia ingin Ismail benar-benar melaksanakan perintah dengan tulus, bukan dengan keterpaksaan.

Maka, lihatlah betapa indah bahasa yang dipilih Ibrahim as untuk disampaikan kepada ananda tercinta, Ismail :“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu…”

Beliau hanya menyebut perintah Allah sebagai mimpi. Ibrahim tidak mengatakan penyembelihan Ismail sebagai sebuah perintah yang wajib dilaksanakan.Kalimat musyawarah muncul dalam ungkapan Ibrahim as, “maka pikirkanlah apa pendapatmu…..” Sungguh, beliau bisa saja mengatakan, “Engkau harus taat dan tidak boleh membantah. Ini perintah Allah !”  Beliau membahasakan perintah dengan bahasa istisyarah (meminta pendapat), agar penerimaan Ismail bisa lebih sempurna, bukan semata-mata karena melaksanakan kewajiban.

Ibrahim mengajarkan kepada kita pentingnya musyawarah dalam kehidupan keluarga, sampaipun dalam masalah pelaksanaan kewajiban. Ibrahim juga mengajarkan kepada kita pemilihan bahasa dan kehalusan perasaan. Ibrahim berbicara dengan bahasa hati yang tulus, maka langsung menyambung pula dengan hati Ismail yang halus. Mereka tidak perlu berdebat dan adu argumen. Mereka berbicara dengan kehalusan budi.

Lihatlah, betapa luar biasa jawaban Ismail : “Hai  Ayahanda,  kerjakanlah  apa   yangdiperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk  orang-orang yang shabar” (Ash Shaffat: 102).

Inilah  perbincangan antara dua orang yang saling  mengasihi dan mencintai. Ungkapan mimpi yang disebutkan Ibrahim, dijawab Ismail dengan, “Hai  Ayahanda,  kerjakanlah apa   yang   diperintahkan kepadamu…” Sangat peka hati Ismail, bahwa mimpi yang disebut bapaknya bukanlah takhayul, namun sebuah perintah Allah. Keduanya mampu menggunakan bahasa yang santun, bahasa yang halus dan lembut. Itu semua muncul karena kehalusan perasaan Ibrahim dan Ismail, yang telah ditempa dalam keimanan.

Ibrahim as memberikan keteladanan kepada kita perlunya musyawarah dalam kehidupan rumah tangga. Sesuatu yang berbentuk perintah, bisa dibahasakan dengan lebih “manusiawi” melalui bahasa musyawarah. Hal ini justru membangkitkan motivasi kuat untuk menunaikan ketaatan, karena tidak didasarkan kepada paksaan, melainkan kepada kesadaran.

Hendaknya suami mampu mengemas keinginannya dalam bahasa musyawarah atau dalam bahasa yang lebih menyenangkan. Tidak selalu menggunakan kalimat perintah atau permintaan, namun bisa dikemas dengan berbagai bentuk ungkapan yang memberdayakan dan menyentuh kesadaran. Saya ingat kisah sebuah keluarga di Yogyakarta yang tidak terbiasa menggunakan kata kerja perintah. Sang suami menghindari kata kerja perintah ketika memerintah istri dan anak-anaknya. Bisakah anda bayangkan, bagaimana cara memerintah tanpa menggunakan kata kerja perintah?

“Kamu sudah selesai mengerjakan urusan dapur Dek”, tanya suami di suatu pagi.

“Sudah Mas, kenapa emangnya?” jawab istri.

“Aku harus segera berangkat nih, karena ada rapat pagi di kantor. Tapi aku belum sempat membereskan ruang kerjaku. Lihat tuh masih berantakan seperti itu”, kata suami.

“Oh itu, biar aku saja yang nanti membereskannya. Kamu berangkat dulu saja Mas,” jawab istri.

Pada contoh itu, sang suami hanya menggunakan beberapa kalimat pertanyaan dan pernyataan, namun sudah bisa membuat sang istri melaksanakan apa yang diinginkan. Tanpa kata kerja perintah sama sekali. Pada kesempatan yang lain, sang suami berbincang dengan anak perempuannya.

“Kamu ada kegiatan sore ini Nduk?” tanya sang ayah.

“Gak ada Ayah, aku di rumah saja. Ayah mau kemana?” jawab anak perempuan.

“Ayah ada rapat di kantor nih Nduk. Mendadak undangannya. Tapi jadinya Ayah tidak sempat mengantarkan surat ini ke Pak RT. Padahal surat harus sudah sampai ke Pak RT sore ini. Gimana ya?” tanya sang Ayah.

“Gak apa-apa, aku saja yang mengantar surat itu ke Pak RT Ayah...”, jawab anak perempuan.

Pada contoh itu, sang ayah juga hanya menggunakan kalimat pertanyaan dan pernyataan, namun sudah bisamembuat anak perempuannya melaksanakan apa yang dikehendaki. Tanpa kalimat perintah sama sekali. Hal ini akan lebih nyaman dirasakan dan diterima oleh istri atau anak, karena suami tidak menampakkan otoritas dalam memerintah. Pembahasaan yang mengubah kalimat perintah menjadi kalimat pertanyaan dan pernyataan seperti ini sekaligus melatih kepekaan perasaan dan kelembutan budi pekerti.

Demikianlah tiga poin Peran Suami dalam Menciptakan Ketaatan Istri. Insyaallah lain kali akan saya teruskan pembahasan tiga poin berikutnya, yaitu (1) Memberikan Keteladanan dalam Kebaikan (2) Tidak Suka Mempersulit Istri, serta (3) Ringan Membantu Kerepotan Istri. Jika para suami memiliki peran yang optimal dalam enam poin ini, insyaallah akan menjadi sosok suami yang benar-benar layak ditaati istri dengan penuh rasa hormat serta cinta kasih.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun