Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Suami Ideal: Disayangi Isteri, Bukan Ditakuti

28 September 2011   01:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:33 1404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menjadi suami ideal, bisakah ? Sudah lebih dari duapuluh tahun menjadi suami, namun saya merasa bukanlah suami ideal. Saya hanya selalu berusaha untuk menjadi baik dan menjadi lebih baik lagi setiap hari. Mungkin tidak akan pernah sampai ke taraf ideal, karena memang tidak mudah untuk mencapainya.

Pertama kali yang saya rasakan ketika membahas tema karakter suami ideal adalah, betapa jauh panggang dari api. Idealitas berada di sebuah titik, dan saya berada di titik yang lain lagi. Ada jarak, di situlah saya menapaki setiap hari agar semakin mendekat. Namun, betapapun saya selalu berusaha bergerak menempuh jarak itu, rasanya titik ideal semakin menjauh. Saya tidak pernah mampu mengubur jarak yang terbentang itu.

Okelah, tidak masalah. Toh isteri saya juga tidak pernah menuntut saya untuk menjadi ideal, sebagaimana dirinya juga mengaku tidak ideal. Di titik inilah justru kita bisa merasakan kebahagiaan. Bahagia sebagai suami apa adanya, sebagai isteri apa adanya, sebagai seseorang yang diterima pasangan dengan ketulusan jiwa. Ternyata, tidak harus ideal untuk bisa merasakan bahagia.

Namun sebagai suami, saya tetap perlu memiliki peta yang jelas, seperti apa karakter ideal yang seharusnya saya miliki. Jika tidak memiliki peta ini, saya hanya berjalan melingkar-lingkar, menuruti ritme hidup dan rutinitas yang mekanistik. Setiap hari seperti itu saja, bersembunyi di balik ungkapan “terimalah aku apa adanya”, lalu kita merasa tidak perlu melakukan perbaikan dan perubahan apapun. Toh pasangan kita sudah menerima kita apa adanya.

Ada sangat banyak karakter ideal sebagai suami, namun saya hanya akan mengungkapkan beberapa bagian saja darinya. Sebagai bagian dari usaha saya untuk terus berjalan menapaki jarak yang terentang, antara kondisi riil diri saya hari ini sebagai suami, dengan karakter ideal yang semestinya saya miliki.

Pertama, suami ideal memiliki kemampuan untuk senantiasa memiliki cinta dan kasih sayang dalam jiwanya. Mungkin isteri kita terasa sangat menyebalkan, atau tampak sangat menjengkelkan dengan perkataan dan perbuatannya setiap hari. Para suami selalu memiliki catatan yang sama, bahwa isteri mereka amat sangat cerewet. Terlalu banyak bicara, terlalu banyak komentar, dan suka memberi nasihat tanpa diminta. Namun sebagai suami, kita tidak layak mencaci maki, memarahi dan membenci isteri.

Jika tidak suka dengan perkataan atau perbuatannya, nasihati, ingatkan dengan kelembutan, dengan cinta dan kasih sayang. Jika melihat ada kekurangan pada dirinya, ingatlah Tuhan telah mengutus kita untuk mendampinginya, agar bisa menutupi kelemahan dan melengkapi kekurangan yang dimilikinya. Bukan mendamprat, memaki, apalagi sampai berlaku kasar dan menyakiti hati, perasaan dan badan isteri.

Bukankah suami wajib membimbing dan memimpin isterinya menuju kebaikan ? Sebagai pemimpin, jangan berlaku otoriter dan semena-mena. Jadilah pemimpin yang dicintai, disayangi, dikasihi dan dihormati oleh isteri. Jangan bangga menjadi suami yang ditakuti isteri, karena khawatir dikelompokkan menjadi anggota “Ikatan Suami Takut Isteri”, alias ISTI.

Apa bangganya menjadi suami yang ditakuti isteri ? Harusnya kita berbangga menjadi suami yang disayangi isteri, menjadi suami yang dirindukan isteri, suami yang dicintai isteri, suami yang selalu dinantikan kehadirannya oleh isteri. Kalau menjadi suami yang ditakuti isteri, kehadirannya menjadi teror bagi isteri. Suami menjadi teroris bagi perasaan dan hati isterinya sendiri. Sampai isteri tidak berani berbicara dan menyampaikan perasaan kepada suami.

Di Jogja Family Center (JFC), kami banyak menemukan curhat para isteri karena merasa tertekan atas perilaku suaminya. Saat kami tanyakan, apakah masalah ini sudah dibicarakan baik-baik dengan suami, kebanyakan mereka menjawab “tidak berani berbicara kepada suami”. Luar biasa, seperti apakah tampang suaminya itu ? Sampai untuk berbicarapun sang isteri tidak berani.

Mungkin banyak suami terprovokasi oleh plesetan sinetron Suami-suami Takut Isteri, atau plesetan yang sering dijadikan bahan gurauan di kalangan para suami dengan istilah ISTI tersebut. Saya sendiri sering mendengar para suami bergurau, saling meledek satu sama lain, “Itu Ketua Umum ISTI. Itu Pembina ISTI”, dan lain sebagainya.

Bahkan selalu beredar cerita yang sama di berbagai forum, untuk menyegarkan suasana, padahal ceritanya berulang-ulang sehingga tidak segar lagi. Kisah sekelompok suami yang dikumpulkan dan diberikan instruksi, “Suami yang takut isteri, berkumpul di sebelah sini !” Maka berbondong-bondong suami ini berpindah ke tempat yang ditunjukkan oleh instruktur. Menandakan mereka mengaku takut kepada isteri. Hanya satu orang yang tetap berdiri di tempatnya, tidak berpindah.

Instruktur mendekati dan menepuk pundak lelaki tersebut. “Hebat, kamu sendiri yang tidak takut kepada isteri. Apa yang membuatmu tetap berdiri di sini?” tanya instruktur.

“Saya sudah dipesan oleh isteri sebelum berangkat ke sini. Kata isteri saya : Awas kalau kamu mengaku takut isteri”, kata lelaki ini polos.

Nah, pembuat cerita ini berhasil memprovokasi banyak kalangan suami, sehingga mereka khawatir dan malu kalau dianggap suami takut istri. Akibatnya, para suami ingin membuktikan bahwa dirinya tidak takut kepada isteri, dengan melakukan tindakan agar ditakuti isteri. Banyak suami menjadi teroris di rumah sendiri, sehingga isteri ketakutan di hadapan suami.

Bahkan masih ditambah dengan cerita lingkaran, bahwa kehidupan ini selalu berputar. Contohnya adalah teori Lingkaran Ketakutan. Teori ini mengatakan, tikus takut kepada kucing, kucing takut kepada anjing, anjing takut kepada harimau, harimau takut kepada pemburu, pemburu takut kepada isterinya, isteri pemburu takut kepada tikus, dan begitulah ketakutan melingkar lingkar. Coba, betapa nekatnya memasukkan “pemburu takut kepada isterinya” dalam teori Lingkaran Ketakutan itu.

Masih ada lagi yang menambah daftar panjang dalam Lingkaran Ketakutan itu, dengan menyelipkan “pemburu takut kepada penjaga hutan, penjaga hutan takut kepada Menteri Kehutanan, Menteri Kehutanan takut kepada Presiden, Presiden takut kepada isterinya, isteri Presiden takut kepada tikus”. Maksa banget deh, teori yang sekedar ingin menunjukkan bahwa ada banyak suami takut isteri.

Ayo kita kubur mitos dan provokasi ISTI. Mengapa kita tidak membuat ISSI, alias Ikatan Suami Sayang Isteri ? Tentu kita akan lebih bahagia jika bisa menjadi suami yang menyayangi isteri dan disayangi isteri. Menjadi suami yang mencintai isteri dan dicintai isteri. Bukan menjadi suami takut isteri dan ditakuti isteri, bukan pula menjadi suami yang menteror isteri dan diteror isteri. Jangan menjadi teroris, jadilah pembawa jiwa cinta dan kasih sayang dalam rumah tangga.

Para suami, saya mengajak anda untuk selalu menyediakan cinta dan kasih sayang di dalam jiwa. Bukan menyediakan kemarahan, dendam, permusuhan, dan kekasaran sikap terhadap isteri. Jangan membuat isteri kita ketakutan di rumah, jangan membuat isteri kita merasa tertekan. Buatlah suasana nyaman, santai, dan menyenangkan. Biasakan bercanda mesra, biasakan mengobrol –apapun temanya-- supaya isteri merasa nyaman, merasa dicintai, merasa dihargai, merasa diterima.

Para isteri memiliki catatan yang sama, bahwa para suami sulit diajak berbicara dan sulit mendengar curahan perasaan hatinya. Dengan alasan lelah, suami banyak istirahat di rumah. Padahal isteri sangat ingin mengajak bicara, mengobrol, bercanda mesra, dan tertawa bersama. Suasana yang hangat dan manja, sangat diharapkan para isteri. Sayang, para suami tidak mengerti kebutuhan jiwa isteri yang satu ini.

Saya selalu membuat gambaran sederhana tentang makna sakinah, mawadah dan rahmah dalam keluarga. Sakinah adalah perasaan tenteram, nyaman, tenang, senang, teduh, dan sejuk yang muncul pada jiwa pasangan suami isteri. Gambaran yang paling sederhana adalah, apabila suami pulang dari bepergian, perasaan apa yang muncul tatkala semakin dekat ke rumah ?

Jika semakin dekat rumah perasaan semakin tenang dan tenteram, itulah yang namanya keluarga sakinah. Suami merasa akan segera bertemu isteri yang sangat dicintai dan disayangi, maka hatinya menjadi tenang dan tenteram. Namun jika semakin dekat rumah hatinya semakin tidak nyaman, merasa akan segera bertemu setan, maka pertanda sudah kehilangan sakinah di dalam rumah. Suami merasa tegang dan emosinya mulai meninggi, karena membayangkan bertemu isteri yang menjengkelkan.

Demikian pula isteri yang tengah berada di rumah, perasaan apa yang muncul apabila mengetahui jam kedatangan suami sudah semakin dekat ? Apabila semakin dekat dengan waktu kedatangan suami hatinya semakin tenang, tenteram, senang, dan berbunga-bunga, itu pertanda rumah tangganya sakinah. Namun jika hati isteri semakin gelisah, resah dan muncul amarah saat suami semakin dekat ke rumah, inilah pertanda sakinah sudah hilang dari rumah.

Apalagi kalau isteri berdoa “Semoga suamiku tidak jadi pulang. Semoga ada banyak kerjaan di kantor. Semoga dapat tugas lembur sampai sebulan tidak pulang”. Ini tentu gejala yang sudah parah, karena tidak nyaman berada di dekat suami. Merasa takut, terancam, tidak dilindungi, tidak dihargai, tidak diterima oleh suami. Kehadiran suami di rumah berubah menjadi api dalam sekam, yang membuat suasana bertambah gerah dan gelisah. Suami model apa yang diapresiasi seperti ini oleh sang isteri ?

Semestinyalah suami dan isteri merasa nyaman, tenteram, bahagia tatkala berada di rumah bersama-sama. Suasana sakinah seperti ini hanya terjadi apabila suami mampu memberikan keteladanandalam cinta dan kasih sayang. Menjadi suami yang disayangi dan dicintai isteri, sehingga kedatangannya selalu dirindukan.

Inilah karakter pertama suami ideal. Selalu memiliki cinta dan kasih sayang untuk isterinya. Selalu menyediakan kelembutan, kehangatan, kenyamanan, ketenteraman, dan romantisme bagi isterinya. Selalu memimpin, membimbing, menasihati, mendampingi, melindungi isteri dengan penuh cinta dan kasih sayang. Maka ia akan menjadi suami yang disayang isteri sampai mati, bukan ditakuti.

Kedua, ah, sudahlah. Karakter ideal yang pertama saja belum kita miliki, masak mau membahas yang kedua. Berlebihan namanya.

Burung Irian, burung Cenderawasih. Cukup sekian, dan terima kasih.

Pancoran Barat, 28 September 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun