Pada tulisan terdahulu tentang karakter suami ideal, saya telah menyampaikan karakter yang pertama (http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/28/suami-ideal-disayangi-isteri-bukan-ditakuti/), karakter kedua (http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/29/suami-ideal-menundukkan-ego-untuk-keharmonisan-keluarga/), karakter ketiga (http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/30/suami-ideal-3-selalu-membahagiakan-isteri/), karakter keempat (http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/01/suami-ideal-4-fokus-melihat-sisi-kebaikan-isteri/), dan karakter kelima (http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/02/suami-ideal-5-mengenali-perubahan-dan-perkembangan-isteri/). Pada tulisan ini saya ingin menambahkan karakter suami ideal berikutnya.
Keenam, suami ideal selalu mendekat kepada isteri, bukan menjauh. Jika anda tengah marah kepada isteri, atau menyimpan kekesalan kepada isteri, apa yang anda lakukan? Semakin mendekat kepada isteri, atau semakin menjauh ? Jika pada kondisi seperti itu anda menuruti emosi, melontarkan kata-kata yang menyakitkan, menampakkan mimik muka merah, apalagi sampai menyakiti fisik isteri, artinya anda menjauh.
Jika isteri anda tengah mengeluhkan sesuatu kepada anda, bagaimanakah anda merespon keluhannya ? Jika anda cepat mengkritik, bahkan cepat menyalahkan isteri, itu pertanda anda menjauh darinya. Anda tidak berusaha untuk mendekat dan menenteramkan hatinya, namun justru membuat garis pemisah yang semakin tajam antara anda dengan isteri anda.
Empat Gejala Saling Menjauh
Supaya mengerti apa yang dimaksud dengan mendekat, saya ajak memahami dulu gejala menjauh. John M. Gottman dan Nan Silver menyebutkan empat gejala saling menjauh antara suami dan isteri. Pertama adalah mengkritik, kedua mencela, ketiga “membangun benteng”, dan keempat menyalahkan pasangan. Keempatnya merupakan gejala saling menjauh, yang menyebabkan suami dan isteri berada pada posisi dan jarak psikologis yang semakin jauh.
Mengkritik itu sesuatu yang wajar saja dalam kehidupan. Namun kalau terlalu sering mengkritik, maka isteri anda pasti merasa tidak nyaman. Dia merasa jauh dari anda, karena di dekat anda akan selalu mendapatkan kritikan. Perlahan namun pasti, ia menjauh dari anda. Semakin banyak kritik anda sampaikan, semakin jauh pula jarak psikologis yang terbentang. Perhatikan beberapa kalimat kritikan berikut.
”Apakah kamu tidak bisa diam ? Kamu selalu berteriak-teriak kalau berbicara”.
”Kamu selalu tidak nyambung kalau diajak bicara”.
”Apa kita tidak memiliki bumbu dapur selain garam ?”
”Payah benar dandananmu.”
”Kelebihan kamu hanya dua, yaitu kelebihan berat badan dan kelebihan omongan”.
Sedangkan mencela sudah mengarah kepada kalimat dan ungkapan negatif dan menohok secara langsung ke dalam jiwa. Lanjutan dari kritik adalah mencela. Semakin banyak anda mencela isteri, akan semakin jauh jarak yang terbentang antara anda dengan isteri anda. Mencela berpotensi menyakiti hati dan perasaan isteri. Perhatikan kalimat dan ungkapan celaan berikut.
”Dasar perempuan cerewet. Bisanya cuma teriak-teriak”.
”Idiot benar kamu. Apa dulu tidak lulus SD ?”
”Kamu benar-benar tidak punya selera rasa. Syaraf di lidahmu sudah tidak bisa berfungsi untuk merasakan masakan”.
”Dandananmu menjijikkan. Sangat menor dan norak”.
”Dasar gembrot. Sudah gendut, cerewet lagi”.
Betapa menyakitkan ungkapan celaan seperti itu. Tidak pantas dingkapkan kepada isteri yang semestinya anda cintai, anda lindungi, anda sayangi dengan sepenuh hati.
Sedangkan yang dimaksud dengan ”membangun benteng” adalah sebuah sikap ”aku tidak seperti yang engkau tuduhkan”. Mungkin isteri tampak diam saja saat mendengar kritik dan celaan suami, namun ia memalingkan wajah. Atau isteri sengaja bermain HP saat mendengar suami memarahi; atau sengaja membuka-buka halaman majalah yang sesungguhnya tidak dibaca. Ia ingin menunjukkan sikap ”inilah aku” dan ”terserah kamu, tapi aku tidak seperti yang engkau katakan”.
Suami bisa membangun benteng dengan memarahi isteri. Mungkin saja suami merasa dirinya yang salah, namun ia tidak ingin isterinya mendahului menyalahkan. Maka ia segera membangun benteng dengan menampakkan sikap marah dan emosi. Ujung-ujungnya adalah muncul sikap menyalahkan isteri. ”Kamu yang salah”, atau ”Kamu yang memulai pertengkaran ini”, atau ”Semua gara-gara kamu”.
Jika empat gejala itu anda miliki, waspadalah, artinya anda berada dalam sebuah jalan yang semakin menjauh dariisteri. Jangan diteruskan dan jangan dituruti, anda harus segera mengakhiri semua gejala tersebut, dengan menempuh jalan yang semakin mendekat kepada isteri.
Sepuluh Langkah Percakapan Saling Mendekat
Sikap dan kata-kata bisa membuat suami dan isteri saling menjauh, namun bisa pula membuat mereka saling mendekat. Dalam banyak kasus, komunikasi yang tidak nyaman antara suami dan isteri justru semakin memperlebar jarak di antara mereka. Alih-alih mendekat, yang terjadi justru menciptakan jarak psikologis yang semakin jauh dan pada akhirnya mereka berdua merasa sulit untuk kembali mendekat, karena sudah terlalu jauh.
Gottman dan Nan Silver kemudian memberikan sepuluh langkah percakapan yang saling mendekat, sebagai berikut :
1.Pilih waktu dan suasana yang tepat untuk memulai percakapan
2.Berbicaralah dengan bergiliran
3.Dengarkan pembicaraan pasangan
4.Jangan cepat memberi nasihat
5.Tunjukkan minat yang tulus
6.Berikan respon empati
7.Berpihaklah kepada pasangan anda
8.Ungkapkan sikap “Kita hadapi bersama”
9.Ungkapkan kasih sayang
10.Pertegas emosinya
Sepuluh langkah ini adalah upaya untuk mendekatkan jarak antara suami dan isteri. Melalui dialog dan percakapan ringan, suami dan isteri bisa membangun kedekatan serta keintiman.
Contoh Dialog
Novi bekerja di sebuah perusahaan, saat ini ia tengah menghadapi persoalan dengan Pimpinan dan beberapa teman kerjanya. Novi ingin sharing persoalan tersebut dengan Budi. Perhatikan contoh dialog antara Novi dengan Budi berikut. Cobalah rasakan, bahwa dialog berikut bukan contoh percakapan yang saling mendekat.
Novi: Tadi pagi aku dimarahi Pimpinan lagi. Menurutnya, aku staf yang paling sulit bekerja sama dalam perusahaan. Aku benar-benar tersinggung dengan ucapannya di hadapan teman-temanku. Aku yakin, dia mendapatkan informasi yang salah.
Budi: Kamu saja yang terlalu perasa dan cepat marah (mengkritik). Selama ini aku melihat Pimpinanmu selalu obyektif dalam menilai orang lain (memihak “musuh”). Mungkin engkau yang kurang bisa memenuhi harapan Pimpinan (tidak memberikan respon empati).
Novi: Sepertinya ada teman kerjaku yang tidak suka kepadaku sehingga banyak memberikan informasi negatif kepada Pimpinan. Kalau tidak begitu, mana mungkin ia mendapatkan data sebanyak itu? Sudah banyak, keliru lagi....
Budi: Engkau selalu menyalahkan orang lain, cobalah engkau introspeksi dirimu sendiri, jangan cepat-cepat menuduh orang (mengkritik, cepat menasihati). Jangan-jangan engkau punya andil kesalahan (memihak “musuh”). Seharusnya engkau tidak marah seperti itu (mengingkari emosinya).
Novi: Sudahlah, biar saja masalah itu terjadi, nanti toh akan reda sendiri.
Contoh dialog di atas tidak sesuai dengan sepuluh langkah percakapan yang saling mendekat. Dalam dialog tersebut, tampak Budi cepat mengkritik Novi, cepat menasihati bahkan cenderung menyalahkan Novi. Tampak Budi cenderung berpihak kepada pimpinan yang sedang dipersoalkan Novi. Dalam suasana hati Novi yang sedang tidak nyaman karena persoalan di tempat kerja tersebut, jawaban-jawaban Budi sangat tidak menenteramkan hati Novi.
Novi tengah marah kepada Pimpinan, namun emosinya diingkari oleh Budi dengan nasihat dan kritikan. “Engkau selalu menyalahkan orang lain, cobalah engkau introspeksi dirimu sendiri, jangan cepat-cepat menuduh orang. Jangan-jangan engkau punya andil kesalahan. Seharusnya engkau tidak marah seperti itu”. Kalimat ini terasa tidak nyaman pada Novi yang tengah memerlukan penyaluran emosi.
Mendekatlah, Jangan Menjauh
Sekarang cobalah perhatikan dialogberikut ini. Anda bisa melihat bagaimanakah proses saling mendekat bisa terjadi dari sebuah perbincangan.
Novi: Tadi pagi aku dimarahi Pimpinan lagi. Menurutnya, aku staf yang paling sulit bekerja sama dalam perusahaan. Aku benar-benar tersinggung dengan ucapannya di hadapan teman-temanku. Aku yakin, dia mendapatkan informasi yang salah.
Budi: Keterlaluan Pimpinanmu itu. Harusnya dia bersikap bijak, tidak asal marah seperti itu (“kita hadapi bersama”). Lalu apa yang engkau sampaikan tadi pada Pimpinanmu? (minat yang tulus, respon empati)
Novi: Aku sampaikan saja bahwa dia mendapatkan informasi yang tidak benar tentang aku, dan aku memprotes sikapnya yang terlalu percaya kepada informasi sepihak.
Budi: Harusnya dia introspeksi diri (berpihak kepada pasangan). Aku jadi ikut tersinggung dengan caranya memarahimu (respon empati, mengungkapkan kasih sayang). Aku jadi ingin ikut memarahinya (“kita hadapi bersama”).
Novi: Sudahlah, biarkan saja dia, nanti juga reda sendiri.
Budi: Tapi dari mana Pimpinanmu mendapat informasi seperti itu? (minat yang tulus)
Novi: Entahlah, tapi aku menduga ada teman kerjaku yang tidak suka kepadaku sehingga banyak memberi informasi negatif kepada Pimpinan.
Budi: Aneh banget, kok ya ada teman berbuat seperti itu (berpihak kepada pasangan). Wajar saja engkau jadi tersinggung dan marah (mempertegas emosi).
Novi: Yah, mudah-mudahan ia segera sadar dan menghentikan tindakannya yang merugikan orang lain.
Budi: Apa perlu kita balas saja dia? (“kita hadapi bersama”)
Novi: Sudahlah, mudah-mudahan akan segera membaik. Kita maafkan saja.
Budi kemudian memeluk dan mendekap Novi, sambil membisikkan, “Aku tidak akan pernah membiarkanmu diperlakukan semena-mena oleh siapapun”. Betapa sejuk dan nyaman hati Novi mendengar ketegasan sikap dan kehangatan cinta kasih Budi, suaminya tercinta. Novi merasa, Budi berada di pihaknya. Tak ada lagi jarak di antara mereka berdua. Sangat dekat, bahkan merapat.
Apalagi kalau Budi kemudian menyanyikan sebuah lagu lembut di telinga Novi, “Sepanjang Hidupku” milik Pilot :
“Sepanjang hidupku hanya ingin bersamamu / di setiap waktu, di setiap waktu / sepanjang hidupku tak ku relakan dirimu / tuk tinggalkan aku, tuk tinggalkan aku ....”
Pastilah Novi akan tersanjung, perasaannya terbang ke langit. Serasa Budi telah mengajaknya terbang, tinggi sekali dan tak pernah kembali lagi. Jiwanya melayang-layang karena kegembiraan yang luar biasa. Ia benar-benar merasa dekat, teramat sangat dekat dengan suami tercinta.
Sebagai suami, teruslah berusaha mendekat isteri, jangan menjauh. Saat isteri tampak emosional dan marah-marah, dekatilah, peluklah, bisikkan kalimat mesra di telinganya. Jangan diimbangi dengan kemarahan, emosi dan apalagi kekerasan serta kekasaran sikap. Mendekatlah terus kepada isteri, dan jangan menjauh.
Demikianlah karakter suami ideal yang keenam. Para suami hendaknya selalu berusaha mendekat kepada isteri. Jangan melakukan tindakan yang berdampak menjauhkan jarak dengan isteri. Berikutnya kita teruskan karakter suami ideal yang ketujuh. Semoga saya masih diberi kesempatan dan kekuatan untuk meneruskan.
Membuat tulisan sambil berlatih. Cukup sekian dan terimakasih.
nDalem Mertosanan 4 Oktober 2011
*) Budi dan Novi hanya naman rekaan saya saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H