Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal Dua Jenis Perjanjian Pranikah

17 April 2015   06:59 Diperbarui: 4 April 2017   18:28 36433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_410625" align="aligncenter" width="560" caption="ilustrasi : www.thefinishingtouch.co.uk"][/caption]

Masyarakat di Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius dan menjunjung nilai-nilai kebaikan. Sedemikian baiknya, sampai menganggap tidak perlu lagi ada perjanjian tertulis untuk meyakini kebaikan seseorang. Maka dalam proses pernikahan, rata-rata laki-laki dan perempuan yang sudah saling cocok, melaksanakan akad nikah tanpa banyak persyaratan tertulis. Alasannya, sudah saling percaya satu sama lain.

Sangat tidak familiar kita berbicara tentang perjanjian pranikah. Kesan yang pertama kali muncul adalah adanya ketidakpercayaan satu dengan yang lainnya. Maka perjanjian pranikah sangat jarang dibahas dan dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia. Padahal di balik itu, ada berbagai manfaat yang bisa mengokohkan sendi-sendi kehidupan berumah tangga.

Dalam praktik pernikahan di Indonesia, sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, dikenal ada dua macam perjanjian.Pertama, Perjanjian Taklik yang diikrarkan oleh suami pada saat ijab kabul atau prosesi akad nikah, dan dicantumkan dalam Akta atau Buku Nikah yang ditandatangani oleh kedua mempelai. Kedua, Perjanjian Pranikah atau Prenup Agreement yang merupakan perjanjian tertulis yang dibuat oleh calon suami dan calon istri sebelum prosesi perkawinan dilangsungkan.

Pertama, Shighat Taklik

Dalam pasal 2 ayat 1 UU nomor 1tahun 1974 tentang Pernikahan dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalahsah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dankepercayaannya. Dalam hukum agama Islam, diatur tatacara pelaksanaan akad nikah dengan detail. Kementerian Agama RI bahkan menambahkan dengan Perjanjian Taklik dalam rangka mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan dalam kehidupan pernikahan.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), sighat taklik adalah perjanjian yang diucapkan oleh mempelai laki-laki setelah akad nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang (KHI pasal 1 huruf e). Sighat taklik ini tercantum pada buku nikah bagian belakang. Biasanya, setelah ijab kabul selesai, mempelai laki-laki diminta oleh petugas KUA untuk membacanya.

KHI memandang perjanjian sighat taklik bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan. Hal ini kita dapat kita baca di dalam KHI pasal 46 ayat (3),"Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali." Jadi menurut KHI, perjanjian taklik bukanlah suatu keharusan dalam pelaksanaan pernikahan. Namun jika pengantin sepakat isi shighat taklik dan membacakannya, maka bersifat mengikat dan tidak bisa dibatalkan.

Demikian pula sidang komisi Fatwa MUI tanggal 23 Rabi'ul Akhir 1417 H/ 7 September 1996, menyimpulkan bahwa materi yang tercantum dalam sighat taklik pada dasarnya telah dipenuhi dan tercantum dalam UU No 1/1974 tentang Perkawinan dan UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. Oleh karena itu, bagi pengantin yang tidak bersedia membaca sighat taklik, pernikahan tetap sah, karena shighat taklik bukan bagian dari syarat maupun rukun nikah.

Contoh Perjanjian Taklik

Isi dari perjanjian taklik talak adalah sebuah janji untuk mu’asyarah bil ma’ruf. Contohnya adalah sebagai berikut.

*****************

Bismillahirrahmanirrahim

Wa aufu bil ‘ahdi, innal ‘ahda kana mas’ula

Dan tepatilah janjimu, sesungguhnya janji itu kelak akan dituntut.”

Sesudah akad nikah, saya: Muhammad Budi Luhur bin Panji Bawono, berjanji dengan sesungguh hati bahwa saya akan mempergauli istri saya yang bernama: Arina Setianingsih binti Bambang Sudrajat, dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran Islam.

Kepada istri saya tersebut saya menyatakan sighat ta’lik sebagai berikut.

Apabila saya:

1 . Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut;

2 . Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;Menyakiti badan atau jasmani istri saya;

3 . Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama 6 (enam) bulan atau lebih,

Dan karena perbuatan saya tersebut, istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut kemudian istri saya membayar uang sebesar Rp. 10,000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai ‘iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.

Kepada Pengadilan Agama saya memberikan kuasa untuk menerima uang ‘iwadl (pengganti) tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial.

Jakarta, 19 April 2015

Suami,

Ttd

Muhammad Budi Luhur bin Panji Bawono, SH.

***********************

Melihat isi Shighat Taklik di atas, tampak ada manfaat yang positif untuk menjaga kebaikan hidup berumah tangga, khususnya dalam melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam memenuhi kewajibannya. Oleh karena itu, kendati tidak merupakan rukun atau syarat pernikahan, dan bukan merupakan sebuah kewajiban, namun shighat taklik ini menjadi sesuatu perjanjian yang layak untuk diucapkan oleh suami setelah akad nikah.

[caption id="attachment_410627" align="aligncenter" width="275" caption="ilustrasi : www.blog.contractstore.com"]

14292284541927284359
14292284541927284359
[/caption]

Kedua, Prenuptial Agreement

Jenis perjanjian kedua dalam suatu pernikahan adalah Perjanjian Pranikah atau Prenuptial Agreement, yang keberadaannya didasarkan kepada Pasal 29 UU 1/1974 ayat (1) hingga (4), serta Kompilasi Hukum Islam Pasal 45 hingga 52.

Menurut Subekti dalam bukuPokok-pokok Hukum Perdata(Intemasa, Jakarta, 1995), kata Perjanjian Pranikah merupakan terjemahan dari“huwelijksevoorwaarden”yang ada dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Istilah ini terdapat dalam KUH Perdata, Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Huwlijk menurut bahasa berarti perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sedangkan voorwaard berarti syarat.

Perjanjian Pranikah dapat dipahami sebagaiakta kesepakatan antara calon suami dan calon istri, yang tertuang dalam perjanjian yang akan mengikat dan ditaati setelah terjadinya perkawinan, tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan harta bersama, kesepakatan untuk melakukan sesuatu atau melarangnya,seperti larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, larangan selingkuh, kesepakatan untuk monogami, pengaturan tentang penghasilan masing-masing, penyatuan atau pemisahan harta yang dihasilkan dalam perkawinan atau harta bawaan, tanggung jawab hutang masing-masing, pengasuhan anak, biaya perawatan dan pendidikan anak hingga dewasa dan mandiri, dan berbagai kesepakatan lainnya.

Dalam pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan:

(1)Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2)Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

(3)Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4)Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Dari ayat-ayat dalam pasal 29 UU no 1/1974 tersebut tidak ada batasan tentang poin-poin perjanjian yang bisa dibuat oleh calon suami dan calon istri. Yang penting perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk tertulis, disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, dan isi dari perjanjian tidak bertentangan dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

Dengan demikian, Perjanjian Pranikah dapat mengatur apa pun yang diinginkan oleh calon suami dan calon istri sepanjang isinya tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan. Calon suami dan calon istri merumuskan poin-poin kesepakatan yang ingin ditulis dalam Perjanjian Pranikah, sejak dari hal yang bersifat prinsip hingga hal-hal teknis.

Perjanjian Pranikah bisa memuat semua hal yang dianggap perlu untuk menjaga hak-hak dan kepentingan semua pihak, baik menyangkut harta benda, hutang piutang, kepemilikan perusahaan, pengasuhan dan pendidikan anak, pembagian peran kerumahtanggaan, penghindaran Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sikap terhadap poligami, dan lain sebagainya. Pada dasarnya poin-poin tersebut bersifat fleksibel sesuai kesepakatan kedua belah pihak tanpa ada tekanan atau paksaan dari pihak manapun, serta dibuat dalam kondisi sadar dan bertanggung jawab.

Untuk mendapatkan kekuatan hukum yang kokoh sebaiknya Perjanjian Pranikah dibuat dan disaksikan oleh Pejabat Notaris untuk dituangkan dalam bentuk Akta Notaris dan dicatat pada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama Katholik, Kristen, Hindu, Buddha dan agama lainnya yang diakui oleh negara.

Perjanjian Pranikah mulai berlaku sejak dilangsungkannya akad nikah, dan tidak dapat diubah, kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak, tanpa merugikan pihak ketiga yang terkait.

[caption id="attachment_410628" align="aligncenter" width="424" caption="ilustrasi : www.husbandsandfatherslaw.com"]

14292285541587057119
14292285541587057119
[/caption]

Manfaat Perjanjian Pranikah

Perjanjian Pranikah bukan sebuah keharusan apalagi kewajiban untuk diadakan. Namun apabila kedua belah pihak bersepakat untuk membuatnya, sesungguhnya terdapat banyak manfaat yang bisa didapatkan darinya. Selama ini banyak orang mengira bahwa Perjanjian Pranikah hanya mengatur hal yang terkait dengan kepemilikan harta benda atau kekayaan. Padahal sesungguhnya ia bisa mengatur apa pun yang ingin dijadikan kesepakatan kedua belah pihak.

Perjanjian Pranikah pada dasarnya bermanfaat untuk melindungi kepentingan dan hak-hak masing-masing dari suami-istri, kepentingan dan hak-hak bersama suami-istri, serta kepentingan dan hak-hak anak. Perjanjian ini lebih terasa lagi urgensinya apabila menikah dengan orang yang berbeda kewarganegaraan.

Tentu saja landasan saling percaya amat diperlukan dan diutamakan dalam membangun kehidupan rumah tangga. Tanpa landasan saling percaya, maka tidak bisa membangun kebahagiaan hidup bersama dalam waktu yang lama di dalam keluarga. Namun Perjanjian Pranikah adalah bukti bahwa kepercayaan tersebut benar-benar dikuatkan secara legal formal dan mengikat semua pihak yang terkait di dalamnya.

Contoh Perjanjian Pranikah

Karena tidak ada format standar atau baku, maka bentuk dan isinya bisa berbeda-beda dan sangat beragam. Salah satu contoh Perjanjian Pranikah adalah sebagai berikut:

**************************************************

SURAT PERJANJIAN PRANIKAH

Pada hari ini, Sabtu, tanggal 19 (sembilan belas) bulanApril tahun 2015 (dua ribu limabelas), pukul 16.00 WIB (enambelas nol nol Waktu Indonesia Bagian Barat),bertempat di Jl.Jendral Sudirman nomer 07, Jakarta Pusat, telah dibuat perjanjian perkawinan antara:

Nama : Muhammad Budi Luhur bin Panji Bawono, SH.

Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta 10 Agustus 1990

Nomor Identitas: 10.0819.9000180.0001

Alamat : Jl.Jendral Sudirman nomer 797, Jakarta Pusat

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pribadi, yang untuk selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama.

Nama : Arina Setianingsih binti Bambang Sudrajat, SE.

Tempat dan Tanggal Lahir : Yogyakarta 1Januari 1995

Nomor Identitas: 01.0119.950185.0002

Alamat : Jl. Manggala nomer 988 Sleman DI Yogyakarta.

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pribadi, yang untuk selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.

Kedua belah pihak berdasarkan itikad baik, sepakat untuk mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan resmi sesuai ajaran Islam dan aturan Pemerintah Republik Indonesia, dan untuk itu bersepakat mengikatkan diri serta tunduk kepada perjanjian yang disepakati, dengan ketentuan sebagai berikut:

Pasal 1

1.Perjanjian berasaskan prinsip keadilan, sesuai ajaran syariat Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

2.Kedua belah pihak sepakat bahwa prinsip perkawinan ini adalah monogami.

Pasal 2

1.Harta kekayaan Pihak Pertama saat ini meliputi:

a.Sebuah rumah di Kompleks Beverly Hills, Jakarta Pusat

b.Sebuah mobil Mazda CX-9 tahun 2014

c.Sebidang tanah seluas 500 m di kawasan Menteng

d.Sebuah sepeda motor Vespa tahun 2013

2.Pengelolaan harta kekayaan Pihak Pertama sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) merupakan hakdari Pihak Pertama

3.Pihak Pertama berhak untuk melakukan tindakan hukumterhadap harta kekayaan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1).

4.Tindakan hukum tersebut termasuk menjual, menggadaikan, dan menjaminkan kepada pihak ketiga.

Pasal 3

1.Harta kekayaan Pihak Kedua saat ini meliputi:

a.Sebidang tanah seluas 1.000m di Mlati, Sleman, DIY

b.Sebuah mobil Toyota Yaris tahun 2010

c.Sebuah sepeda motor Scoopy tahun 2012

2.Pengelolaan harta kekayaan Pihak Kedua sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) merupakan hak Pihak Kedua.

3.Pihak Kedua berhak untuk melakukan tindakan hukum terhadap harta kekayaan sebagaimana disebutkan ayat (1).

4.Tindakan hukum tersebut termasuk menjual, menggadaikan, dan menjaminkan kepada pihak ketiga.

Pasal 4

1.Hutang Pihak Pertama saat ini meliputi:

a.Uang Rp. 150.000.000,- di Bank BTN

b.Cicilan mobil senilai Rp. 100.000.000,-

2.Pembayaran dan penyelesaian hutang Pihak Pertama sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) sepenuhnya merupakan tanggung jawab dari Pihak Pertama

3.Pihak Kedua tidak terlibat dan tidak bertanggung jawab atas hutang Pihak Pertama sebagaimana disebutkan dalam ayat (1).

Pasal 5

1.Hutang Pihak Kedua saat ini meliputi:

a.Cicilan mobil senilai Rp. 50.000.000,-

2.Pembayaran dan penyelesaian hutang Pihak Kedua sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) sepenuhnya merupakan tanggung jawab dari Pihak Kedua

3.Pihak Pertama tidak terlibat dan tidak bertanggung jawab atas hutang Pihak Kedua sebagaimana disebutkan dalam ayat (1).

Pasal 6

1.Harta kekayaan yang diperoleh oleh kedua belah pihak selama berlangsungnya perkawinan adalah milik bersama.

2.Salah satu pihak tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan hukum tanpa izin pihak lainnya terhadap harta bersama termasuk menjual, membeli, menggadaikan, dan menjaminkan harta bersama kepada pihak ketiga.

Pasal 7

1.Kedua belah pihak bersepakat untuk melakukan pembagian peran dan tanggung jawab dalam kehidupan keluarga secara adil berlandaskan ajaran Islam.

2.Kedua belah pihak bersepakat untuk saling membantu meringankan peran dan tanggung jawab sebagaimana disebutkan dalam ayat (1).

Pasal 8

1.Kedua belah pihak bersepakat untuk bersikap saling menghormati dan saling menghargaisatu dengan yang lain sesuai semangat ajaran Islam mu’asyarah bil ma’ruf.

2.Kedua belah pihak bersepakat untuk tidak melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana telah diatur dalam UU RI No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Pasal 9

1.Kedua belah pihak sepakat untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam pendidikan anak.

2.Kedua belah pihak sepakat untuk memberikan waktu dan perhatian yang seimbang terhadap anak.

Pasal 10

1.Perubahan perjanjian hanya dapat dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak dan apabila mendapatkan pengesahan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

2.Perubahan perjanjian hanya dimungkinkan terhadap ketentuan yang belum diatur dalam perjanjian ini serta tidak bertentangan dengan ajaran Islam, hukum posiif di Indonesia, serta norma kesusilaan.

Pasal 11

1.Jika muncul perselisihan tentang isi dan penafsiran dari perjanjian ini, kedua belah pihak bersepakat untuk menyelesaikannya dengan cara damai dan kekeluargaan.

2.Jika penyelesaian seperti yang dimaksud dalam ayat (1) tersebut gagal, maka kedua belah pihak sepakat untukmenunjuk satu atau lebih mediator.

3.Mediator berjumlah ganjil, sekurang-kurangnya satu dan sebanyak-banyaknya tiga orang.

4.Pengaturan tentang mediasi dapat dilakukan pada waktu terjadinya perselisihan.

Pasal 12

Jika mediator gagal dalam menjalankan tugasnya dan/atau kedua belah pihak tidak mencapai persetujuan terhadap hasil mediasi, kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai tempat penyelesaian perselisihan.

Pasal 13

1.Perjanjian ini berlaku sejak tanggal pernikahan, dan akan ditinjau kembali apabila disepakati bersama oleh kedua belah pihak, sebagaimana dimaksud dalam pasal (10), tanpa merugikan pihak ketiga.

2.Perjanjian ini dibuat dalam rangkap 2 (dua),bermaterai cukup, ditandatangani oleh para pihak dalam keadaan sadar, sehat jasmani dan rohani, tanpa paksaan dari pihak manapun.

Dibuat di : Jakarta

Tanggal : 19 April 2015


Pihak Pertama

Ttd

Muhammad Budi Luhur, SH.

Pihak Kedua

Ttd

Arina Setianingsih, SE.

Saksi I

Ttd

David Halim

Saksi II

Ttd

Alfian Nasution


***************************************************************

*) Catatan : Perjanjian Pranikah di atas, hanya untuk contoh saja agar memahami bentuknya. Jika ingin membuat Perjanjian Pranikah untuk keperluan pernikahan, tentu harus dikonsultasikan kepada pihak Notaris dan KUA, baik dari segi isi maupun bahasanya. Agar standar sesuai dengan kaidah dalam pembuatan sebuah perjanjian yang berkekuatan hukum.

[caption id="attachment_410629" align="aligncenter" width="425" caption="ilustrasi : www.aaacotch.com"]

1429228656829512872
1429228656829512872
[/caption]

Demikianlah dua jenis perjanjian dalam pernikahan sebagaimana dikenal di dalam UU nomer 1 tahun 1974 tentang Pernikahan. Keduanya memiliki maksud untuk mendatangkan kebaikan dalam pernikahan, menjaga berbagai hak dan kepentingan dalam kehidupan berumah tangga, serta menghindari hal-hal yang tidak diinginkan ketika pernikahan terpaksa berakhir karena kematian ataupun karena perceraian.

Sejauh mana pengantin memerlukan kedua jenis perjanjian tersebut, sangat bergantung kepada kondisi dan situasi yang dihadapi oleh kedua calon pengantin. Mereka berdua harus menentukan sikap apakah akan menerima Perjanjian Taklik dan membacakan setelah prosesi akad nikah, atau menolak untuk membaca Perjanjian Taklik tersebut. Mereka berdua harus menentukan sikap apakah akan membuat Perjanjian Pranikah atau tidak.

Keduanya adalah pilihan. Namun kesamaan iman, kesamaan visi, kesamaan tujuan, kesamaan niat, serta kesediaan kedua belah pihak untuk taat kepada Allah, kesediaan kedua belah pihak untuk saling menyesuaikan diri dan selalu memperbaiki diri, menjadi pondasi yang lebih utama dalam membangun kebahagiaan hidup berumah tangga.

Bahan Bacaan :

http://pranikah.org/pranikah/perjanjian-pra-nikah-prenuptial-agreement-tanda-cinta-yang-tercatat-2/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun