Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meneladani Kerukunan Keluarga Ibrahim As

4 Oktober 2014   16:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:25 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1412390424878571187

Khutbah Iedul Adha di Masjid Jami’ At Taqwa Minomartani Sleman DIY

[caption id="attachment_363863" align="aligncenter" width="425" caption="ilustrasi : www.tabloidtekno.com"][/caption]

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar,

Allahu akbar walillahil hamdu.

Jamaah shalat Iedul Adha yang dimuliakan Allah, alhamdulillah di pagi hari ini kita mendapatkan sangat banyak nikmat, diantaranya berupa kesehatan, kesempatan dan keberkahan sehingga bisa melaksanakan rangkaian ibadah Iedul Adha, sejak dari menunaikan puasa Arafah, mengumandangkan takbir, menegakkan shalat Ied yang disertai penyembelihan hewan kurban pada 10 - 13 Dzulhijah.

Semoga semua amal ibadah kita diterima Allah Ta’ala sebagai pemberat catatan kebaikan kita kelak di hari kiamat. Aamiin.

Hadirin yang dimuliakan Allah,

Setiap kali kita menunaikan ibadah kurban, senantiasa teringat kisah keteladanan keluarga Nabi Ibrahim As, sebagaimana telah difirmankan Allah Ta’ala:

"Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia" (QS. Al Mumtahanah : 4).

Beliau bersama istrinya, Siti Hajar, dan anaknya Ismail, juga Siti Sarah dan anaknya Ishaq, adalah contoh keluarga yang berhasil membangun kehidupan atas dasar keyakinan kepada Allah SWT. Mereka juga dapat membangun idealisme dan cita-cita yang sangat tinggi disertai dengan pengorbanan yang tanpa mengenal pamrih, kecuali hanya mengharap ridha Allah SWT.

Ibrahim dan isterinya saling menjaga dan saling memelihara dalam ketaatan kepada Allah SWT.  Nabi Ibrahim sebagai suami dan ayah, sangat tekun menjalankan perintah Allah, berjalan ke berbagai pelosok negeri untuk menyebarkan risalah Allah SWT. Siti Hajar, sang istri, dengan ikhlas mendukung kegiatan ini sekaligus memberikan dorongan dan doa agar suaminya mendapatkan keberkahan Allah SWT.

Dan Ibrahim berkata, "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku” (Ash Shaaffaat : 99).

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar walillahil hamdu.

Keluarga Ibrahim As memberikan teladan kepada kita tentang kelembutan dan kehangatan dalam interaksi dalam keluarga. Lihatlah bagaimana Nabi Ibrahim memanggil putranya dengan sebutan lembut, “Ya bunayya”. Ia tidak memanggil dengan ungkapan “Ya Ismail”. Maka anaknya pun membalas dengan panggilan yang juga sangat lembut “Ya Abati”, bukan semata-mata “Ya Abi”. Ini adalah keteladanan yang besar dalam dunia kita sekarang, dimana telah banyak terjadi keretakan dan kehancuran keluarga.

Nabi Ibrahim Asjugamembiasakan keterbukaan dan musyawarah dalam keluarga sehingga timbul pemahaman dan pengertian yang baik. Sebagai contoh, ketika bermimpi untuk menyembelih anaknya --yang diyakininya sebagai perintah Allah SWT--- Nabi Ibrahim dalam implementasinya tetap berdialog dan berkomunikasi dengan anaknya. Lalu, keduanya melaksanakan ketentuan Allah SWT ini dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu. Ia menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar" (Ash Shaaffaat : 102).

Luar biasa kehangatan cinta dan kasih sayang dalam keluarga Nabi Ibrahim, sebagai teladan untuk kita semua.

Sebagai Nabi, mudah saja bagi Ibrahim As untuk mengatakan, “Aku diperintahkan oleh Allah untuk menyembelihmu, dan aku akan mentaati perintah Tuhanku”. Dengan bahasa perintah seperti itu, pasti Ismail akan taat dan patuh. Namun, subhanallah, bukan itu bahasa yang beliau pilih. Ibrahim mengajarkan kepada kita pentingnya sikap qana’ah, sikap penerimaan yang tulus dalam melaksanakan perintah. Bukan sebuah keterpaksaan.

Maka, lihatlah betapa indah bahasa yang dipilih Ibrahim as untuk disampaikan kepada ananda tercinta, Ismail, "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu...” Beliau hanya menyebut perintah Allah sebagai mimpi. Ibrahim tidak mengatakan penyembelihan Ismail sebagai sebuah perintah yang wajib dilaksanakan.

Kalimat musyawarah muncul dalam ungkapan Ibrahim as, “maka pikirkanlah apa pendapatmu....." Sungguh, beliau bisa saja mengatakan, “Engkau harus taat dan tidak boleh membantah. Ini perintah Allah !”  Beliau membahasakan perintah Allah dengan bahasa istisyarah (meminta pendapat), agar penerimaan Isma’il bisa lebih sempurna, bukan semata-mata karena melaksanakan kewajiban.

Dengan bentuk musyawarah seperti itu, lebih tampak kualitas kepribadian Ismail yang luar biasa. Ia sangat yakin, bahwa bapaknya adalah Nabi yang selalu berada dalam bimbingan Allah. Ismail tidak menyangsikan perkataan dan perbuatan bapaknya, karena selama ini ia mengetahui bahwa bapaknya sangat mentaati Allah. Dengan mudah Ismail memahami bahwa apa yang disebut sebagai mimpi oleh Ibrahim as, sesungguhnya adalah sebuah perintah dari Allah.

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar walillahil hamdu.

Jama’ah shalat Iedul Adha yang dirahmati Allah.

Nabi Ibrahim juga mengajarkan kepada kita pemilihan bahasa dan kehalusan perasaan. Ibrahim berbicara dengan bahasa hati yang tulus, maka langsung menyambung pula dengan hati Ismail yang halus. Mereka tidak perlu berdebat dan adu argumen. Mereka berbicara dengan kehalusan budi.

Lihatlah, betapa luar biasa jawaban Ismail :

"Hai  Ayahanda,  kerjakanlah  apa   yang   diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk  orang-orang yang shabar" (Ash Shaffat: 102).

Inilah  perbincangan antara dua orang yang saling  mengasihi dalam mencintai Allah melebihi segala-galanya. Ungkapan mimpi yang disebutkan Ibrahim, dijawab Ismail dengan, "Hai  Ayahanda,  kerjakanlah  apa   yang   diperintahkan kepadamu...” Sangat peka hati Ismail, bahwa mimpi bapaknya bukanlah takhayul, namun sebuah perintah Allah.

Keduanya mampu menggunakan bahasa yang santun, bahasa yang halus dan lembut. Itu semua muncul karena kehalusan perasaan Ibrahim dan Ismail, yang telah ditempa dalam keimanan kepada Allah.

"Tatkala  keduanya telah berserah diri dan  Ibrahim  membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah keshabaran keduanya)"  (Ash Shaffat: 103).

Tentu saja, Allah tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan keduanya. Ketaatan Ibrahim terhadap perintah Allah untuk menyembelih anak tercinta, membuahkan syariat kurban yang kita laksanakan hingga sekarang.

"Dan  Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan  yang  besar" (Ash Shaffat: 107).

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar walillahil hamdu.

Jama’ah shalat Iedul Adha yang dirahmati Allah.

Banyak keluarga di Indonesia berada dalam kondisi yang memprihatinkan saat ini. Data BKKBN menunjukkan ada dua juta pernikahan setiap tahunnya di Indonesia, namun terjadi hampir 300 ribu perceraian setiap tahun. Dr. Sudibyo Ali Muso dari BKKN menyatakan, perceraian di Indonesia telah menempati peringkat teratas se Asia Pasifik.

Kementrian Agama di akhir tahun 2013 memberikan catatan bahwa penyebab perceraian tertinggi di Indonesia adalah karena ketidakharmonisan. Ungkapan ini menunjukkan bahwa penyebab perceraian di Indonesia lebih banyak terjadi karena hal-hal yang kecil dan sederhana, bukan hal yang besar dan berat. Bertumpuknya masalah-masalah kecil yang tidak segera diselesaikan, berdampak menggunung seakan-akan menjadi hal yang besar dan berat.

Salah satu contoh persoalan dalam kehidupan keluarga adalah sifat emosi dan marah. Banyak kejadian suami mengekspresikan kemarahan dengan vulgar kepada istri, atau istri mengekspresikan kemarahan dengan vulgar kepada suami, orang tua mengekspresikan kemarahan dengan vulgar kepada anak, dan anak mengekspresikan kemarahan dengan vulgar kepada orang tua.

Kemarahan tidak membuahkan kebaikan hubungan, justru yang terjadi, kemarahan semakin membuat hubungan bertambah jauh. Hal ini menandakan tidak ada kebaikan dalam kemarahan. Perhatikan bagaimana Nabi Saw memberikan arahan kepada seorang sahabat yang datang meminta nasihat.

Dari Abu Hurairah Ra, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Saw, “Berilah aku nasihat”. Beliau Saw menjawab, “Jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berkali-kali. Nabi Saw bersabda, “Jangan marah!” (HR. Al Bukhari).

Sahabat yang meminta nasihat dalam hadits ini bernama Jariyah bin Qudamah Ra. Ia meminta nasihat kepada Nabi Saw dengan kalimat yang mengumpulkan berbagai kebaikan, agar ia dapat menghafal dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar walillahil hamdu.

Jama’ah shalat Iedul Adha yang dirahmati Allah.

Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang tercela seperti memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti hati dan perasaan, mengeluarkan perkataan-perkataan keji, menuduh, mencaci maki, dan berbagai bentuk kezhaliman dan permusuhan. Kemarahan bisa membawa dampak lanjut ke tingkat menceraikan istri, atau membunuh pasangan, bahkan bisa kepada tingkat kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti sumpah-sumpah yang tidak diperbolehkan menurut syariat agama.

Ja’far bin Muhammad rahimahullah mengatakan, “Marah adalah pintu segala kejelekan.” Dikatakan kepada Ibnu Mubarak rahimahullah , “Kumpulkanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Beliau menjawab, “Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah dan Ishaq rahimahullah menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah dengan meninggalkan amarah.

Islam memberikan pengarahan, bahwa orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dan mengekang hawa nafsunya ketika marah. Rasulullah Saw bersabda:

Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah Saw menjelaskan tentang keutamaan orang yang dapat menahan amarahnya:

Barangsiapa menahan amarah padahal ia mampu melakukannya, pada hari Kiamat Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, kemudian Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai” (HR Ahmad).

Rasulullah Saw menghubungkan antara marah dengan surga, sebagaimana sabda beliau:

Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk surga” (HR. Thabrani).

Diriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki-laki berkata, “Aku mentalaq istriku dengan talak tiga ketika aku marah.” Maka Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas tidak bisa menghalalkan untukmu apa yang telah Allah haramkan atasmu, engkau telah durhaka kepada Rabb-mu, dan engkau mengharamkan istrimu atas dirimu sendiri” (Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam).

Menahan amarah adalah salah satu sifat orang yang bertaqwa. Hal ini menandakan, marah adalah sesuatu yang menjadi sifat manusia, namun bisa ditahan dan dikendalikan. Ini yang membedakan orang bertaqwa dengan orang yang tidak bertaqwa. Allah Ta’ala telah berfirman:

“…Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan” (Ali ‘Imrân : 134).

Sedemikian penting menahan dan mengendalikan marah, Nabi Saw memberikan petunjuk kepada kita tentang usaha meredakan kemarahan ini, sebagaimana dalam sabda beliau:

Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk; apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya) dan jika belum, hendaklah ia berbaring” (HR. Ahmad).

Rasulullah Saw juga mengajarkan apabila seseorang marah hendaklah ia diam:

Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam” (HR Ahmad).

Kita juga ingat sejarah bagaimana Nabi Yunus harus “membayar” kemarahannya dengan hukuman dari Allah.

Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya)” (Al Anbiya : 87).

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar walillahil hamdu.

Jama’ah shalat Iedul Adha yang dirahmati Allah.

Ditinjau dari sisi kesehatan, marah ternyata sangat jelek dampaknya bagi fisik dan psikis manusia. Menurut psikolog Albert Ellis, PhD, saat sedang marah akan terjadi perubahan fisik dalam diri manusia, seperti misalnya, otot yang menegang, detak jantung yang semakin kencang, sementara sistem pernafasan dan metabolisme tubuh siap untuk membantunya melakukan suatu “tindakan” yang diperlukan.

Hormon adrenalin akan menjalar ke seluruh pembuluh darah dan darahnya akan mengalir ke bagian otot yang lebih besar dalam tubuh. Tidak heran jika orang yang sedang marah biasanya mempunyai kekuatan yang lebih untuk menyerang sumber yang membuatnya marah, karena memang tubuh mereka siap untuk melakukannya.

Prof. Robert Sapolsky, seorang ahli biologi dan neuroscience di Stanford University menggambarkan bahwa perubahan fisik yang terjadi saat seseorang marah akan dapat merusak sistem kardiovaskuler. Saat seseorang marah, tekanan darah akan meningkat secara mendadak, dan tekanan ini akan dapat merusak jaringan-jaringan lembut arteri. Selanjutnya, material tubuh dari darah seperti gula, asam lemak (fatty acids) dan lainnya akan mulai menempel pada dinding-dinding arteri rusak tadi.

Lama kelamaan, akan terjadi penumpukan material yang menyumbat arteri yang menyebabkan tersendatnya aliran darah dan juga aliran oksigen. Inilah yang disebut atherosclerosis. Jika material yang terakumulasi melalui jaringan arteri yang menuju jantung, maka seseorang tersebut berpotensi menderita penyakit jantung koroner, dan potensi kerusakan jantung lainnya.

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar walillahil hamdu.

Jama’ah shalat Iedul Adha yang dirahmati Allah.

Sebagai penutup, kita semua sudah banyak yang pernah mendengar kisah berikut ini. Alkisah hiduplah sepasang kakek dan nenek di sebuah pinggiran kota nan sejuk. Mereka hidup bahagia dalam ikatan pernikahan, hampir 60 tahun mereka menjalani kebersamaan sebagai suami dan istri. Secara umum mereka tampak happy saja sebagaimana banyak pasangan lainnya. Mereka berjanji saling mempercayai dan selalu saling menjaga pasangannya.

Sepanjang enam puluh tahun hidup bersama, tidak ada rahasia yang mereka sembunyikan, kecuali sebuah kotak yang disimpan oleh nenek di atas lemari tua, di dalam kamar tidur mereka. Ia selalu memperingatkan suaminya agar tidak menyentuh kotak itu sama sekali. Selama ini, suaminya tak pernah melanggar permintaan tersebut.

Hingga suatu hari, nenek yang sudah tua jatuh sakit dan harus dirawat di ruang intensif ICCU sebuah rumah sakit. Sang suami menyempatkan pulang ke rumah untuk mengambil kotak itu dan membawanya ke sisi sang istri. Khawatir bahwa masa kematian istrinya sudah hampir tiba. Istrinya pun setuju. Ia merasa ini memang sudah waktunya membuka kotak tersebut.

“Silakan dibuka, Kek,” ujar Nenek pelan.

Dengan gemetar Kakek membuka kotak tersebut. Tidak sabar ia ingin segera mengetahui isi kotak rahasia yang sudah disimpan berpuluh tahun lalu. Selama ini ia tidak pernah memegang kotak itu, apalagi sampai membukanya. Sekarang ia dipersilakan membuka kotak tersebut.

Ketika kotak dibuka, sang suami terkejut melihat isinya. Di dalam kotak terdapat sejumlah uang dalam jumlah yang banyak. Lembaran uang kertas tersebut diikat rapi dengan karet gelang. Ketika dihitung, jumlahnya mencapai US $ 95.000 atau sekitar Rp 950 juta. Di dalamnya juga ada dua boneka rajut.

“Dari mana ini semua, Nek?” tanya sang suami.

“Engkau mau mendengar ceritanya?” tanya istri.

“Ya, tentu. Aku sangat ingin mendengar ceritanya,” jawab suami. Ia sangat penasaran dengan isi kotak rahasia tersebut.

“Panjang sekali ceritanya,” sang istri mulai membuka cerita. “Sejak awal menikah denganmu, nenekku menceritakan rahasia pernikahan bahagia. Menurutnya, rahasia itu adalah agar aku tidak bertengkar denganmu, jadi aku harus mampu mengendalikan marah,” ujarnya.

“Awalnya tidak mudah bagiku mengendalikan amarah,” lanjut sang istri. Ia menceritakan bagaimana usaha untuk mengendalikan marah setiap kali suaminya terasa menyebalkan atau menyakiti hatinya.

“Hingga akhirnya nenekku menasehati, kalau aku sudah mulai marah padamu, sebaiknya aku merajut boneka,” lanjut sang istri.

Sang suami mendengar dengan seksama. Mendengar hal itu kini ia mulai mengerti, mengapa ada dua boneka rajut di dalam kotak itu. Ia juga merasa sangat terharu karena kesabaran sang istri. Hampir enam puluh tahun hidup bersama, istrinya hanya marah dua kali saja. Terbukti hanya ada dua boneka rajut di dalam kotak itu.

Namun ia masih penasaran dengan uang sebanyak itu. “Lalu dari mana uang sebanyak ini, Nek? Apakah engkau menabung dari uang belanja kita?” tanya sang suami.

“Uang itu kudapatkan dari menjual boneka-boneka hasil jahitanku. Hasilnya selalu aku simpan di kotak itu,” jawab istrinya pelan.

Ternyata uang itu adalah hasil penjualan boneka-boneka yang dirajut saat sedang menyalurkan kemarahan kepada suaminya. Entah sudah berapa boneka yang dibuat dan berapa banyak amarah yang berhasil dipendam sang istri. Kini sang suami baru mengerti, betapa selama ini sangat banyak sikap dan perlakuannya menyakiti hati sang istri.

Sedemikian pandai sang istri menyalurkan kemarahan, sampai akhirnya suaminya tidak mengetahui bahwa sudah sangat banyak perbuatannya yang menyakiti hati sang istri. Tidak terhitung berapa banyak boneka rajut sudah berhasil dibuat dan dijual oleh sang istri selama ini.

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar walillahil hamdu.

Jama’ah shalat Iedul Adha yang dirahmati Allah.

Cobalah tanyakan kepada istri atau suami anda, sudah berapa banyak boneka rajut dibuatnya selama hidup dengan anda? Sudah berapa banyak perbuatan atau perkataan anda yang menyebabkan kemarahan pasangan anda?

Semoga kita semua mampu meneladani keluarga Nabi Ibrahim As yang selalu berada dalam suasana cinta serta kasih sayang. Semoga kita semua mendapatkan kekuatan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah dan penuh berkah melimpah. Aamiin.

Demikianlah khutbah Iedul Adha yang singkat ini, semoga bisa memberikan kemanfaatan kepada kita semua. Barakallahu li walakum wa li sa’iril mu’minina wal mu’minat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun