Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Laraning Lara" : Beginikah Jatuh Cinta?

10 Juni 2012   16:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:08 5590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13393459411749863272

[caption id="attachment_193844" align="aligncenter" width="300" caption="ilustrasi : reuters"][/caption]

Saat di sebuah forum saya menggambarkan suasana hati orang yang tengah jatuh cinta, seorang teman menyampaikan bahwa gejala dan tanda-tanda jatuh cinta itu sudah diungkapkan secara gamblang oleh seorang seniman Jawa sekitar limapuluhan tahun lalu, dalam lagu berjudul Wuyung. Lagu itu diciptakan oleh Ismanto, sekitar tahun 1960-an, yang dianggap sebagai gaya baru –pada masanya-- dalam jenis musik keroncong berlanggam Jawa.

Saya sendiri terhenyak dengan cerita teman tersebut, dan segera teringat sebuah lagu yang dengan sangat apik dinyanyikan ulang oleh Manthous. Di tangan Manthous, lagu ciptaan Ismanto ini menjadi kembali populer di kalangan pecinta Campur Sari. Sebagai orang kampung, sejak kecil saya sering mendengar lagu itu dinyanyikan orang, namun saya tidak hafal liriknya. Penasaran dengan penuturan teman tersebut, saya langsung searching lirik lagu Wuyung. Dengan sangat mudah, ketemulah liriknya.

Gejala Wuyung

Wuyung, judul lagu tersebut, maknanya adalah jatuh cinta. Setelah saya baca lengkap liriknya, ternyata benar, lagu ini menggambarkan suasana hati orang yang tengah jatuh cinta. Inilah lirik lagu jadul tersebut.

Laraning lara / Ora kaya wong kang nandhang wuyung / Mangan ora doyan / Ora jenak dolan neng omah bingung /

Mung kudu weruh / woting ati duh kusuma ayu / Apa ora trenyuh / sawangen iki awakku sing kuru /

Klapa mudha leganana nggonku nandhang branta / Witing pari dimen mari nggonku lara ati / Aduh nyawa /

Duh duh kusuma / Apa ora krasa apa pancen tega / Mbok mbalung janur / Paring usada mring kang nandhang wuyung

Agak sulit untuk menterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, karena akan sangat banyak mengurangi keindahan rasa bahasanya. Ada beberapa kata yang bahkan tidak bisa diterjemahkan apa adanya karena berupa tembung sanepa. Misalnya kata witing pari, klapa mudha, dan mbalung janur. Harus dicari artinya terlebih dahulu, kemudian dipahami kaitan dengan kalimat berikutnya. Ini untuk memperindah bahasa dalam sastra Jawa.

Witing pari adalah pohon padi, dalam bahasa Jawa disebut damen. Maka disambungkan untuk mengungkapkan kata dimen, yaitu dimen mari yang artinya agar sembuh. Ada kedekatan pengucapan kata damen dengan dimen. Klapa mudha atau kelapa muda, dalam bahasa Jawa disebut degan, disambungkan dengan kalimat berikutnya untuk mengungkapkan leganana, yang artinya legakanlah. Ada kedekatan pengucapan kata degan dengan legan dalam kata leganana.

Mbalung janur atau balung janur, adalah tulangnya janur. Janur adalah daun kelapa, tulangnya janur, dalam bahasa Jawa disebut sada, atau lidi dalam bahasa Indonesia. Disambungkan dengan kalimat berikutnya, untuk mengungkapkan kata usada yang artinya obat atau kesembuhan. Ada kedekatan pengucapan kata sada dengan usada. Jadi beberapa tembung sanepa tersebut tidak bisa masuk dalam terjemahan, karena itu hanya penghias sastra untuk memperindah dan mempertajam rasa bahasa.

Jika diterjemahkan secara bebas, maka kurang lebih maknanya seperti ini.

Sakitnya sakit / tidak seperti orang yang sedang jatuh cinta / makan terasa tidak enak / bepergian tidak nyaman, di rumah juga bingung /

hanya ingin selalu melihat si tambatan hati / duhai bunga yang cantik / apa kamu tidak sedih / lihatlah badanku yang kurus ini /

legakan perasaanku yang sedang kasmaran / biar sembuh sakit hatiku / aduh jiwaku /

wahai bunga / apakah kamu tidak merasa, atau memang tega / berilah obat kepada aku yang sedang kasmaran

Laraning Lara, Itulah Wuyung

Sakitnya sakit, tidak ada yang lebih sakit daripada orang yang jatuh cinta. Begitu penggal pertama lagu tersebut. Luar biasa mengharu biru cara mengungkapkannya. Jatuh cinta justru dikatakan sebagai sakit yang paling sakit. Beberapa kalangan pujangga menyebutkan jatuh cinta itu adalah derita tanpa akhir. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, bepergian tidak nyaman, di rumah pun bingung.

Seorang ulama besar, Ibnul Qayyim al-Jauzy menyatakan, “Jika engkau ingin tahu tentang siksaan pemburu dunia, maka renungkanlah keadaan orang yang sedang didera rasa cinta“. Hal ini menggambarkan, betapa para pemburu kenikmatan dunia justru berada dalam kondisi yang kontradiktif, karena jatuh cinta justru membuat mereka menjadi sakit.

Seorang penyair mengungkapkan :

Tidakkah di dunia ini ada orang yang lebih menderita dari pencinta

Meski ia mendapatkan cinta ini manis rasanya

Engkau lihat ia selalu menangis pada setiap keadaan

Karena takut berpisah, atau takut karena rindu mendalam

Ia menangis jika berjauhan, sebab didera kerinduan

Ia menangis pula saat berdekatan, sebab takut perpisahan

Air matanya mengalir saat bertemu

Air matanya mengalir saat berpisah

Sakit, bukan? Bahkan seperti menyiksa diri. Saya pun menemukan sebuah puisi berjudul “Cinta, Derita Tiada Akhir” yang mengungkapkan rasa sakit ini, di blog Fienangels (fienangels.blogspot.com/2008/10/cinta-derita-tiada-akhir.html). Puisi yang menggambarkan dengan jelas, betapa sakitnya cinta.

Kau hancurkan benteng pertahananku dan kau penjarakan aku dengan cintamu

Kini kau pergi begitu saja meninggalkanku sebagai tawanan perang

Kepedihan menyeruak masuk mengiris hatiku

Terpaksa kuterima karena perisaiku tak mampu lagi menghalangi

Menusuk jantungku dengan kejam dan sadis

Luka yang ditorehkan begitu dalam

Air mata tak lagi kurasa padahal masih mengalir turun

Aku tak mengerti kenapa ini terjadi

Aku si penakluk cinta, sudah kalah

Keluar sebagai pecundang dalam perang tak berwujud

Sakitnya begitu nyata

Ingin kupaksa keluar bersama setiap helaan nafasku

Tapi bagaimana bisa, kalau bahkan nafas saja tak lagi kurasakan

Semangatku, asaku, warna kehidupanku, semua buyar

Mataku tak bisa lagi menatap dunia yang luas

Bukan karena dunia tampak kosong

Bukan..bukan karena kekosongan

Suram dan buram, cuma itu yang terlihat saat ku memandang segala arah

Jadi ini yang namanya cinta

Deritanya tiada akhir

Luar biasa penderitaan dan sakit yang muncul karena jatuh cinta. Ungkapan puisi tersebut memperkuat “laraning lara” dalam lagu Wuyung. Coba perhatikan penggalan kalimat puisi ini, “Menusuk jantungku dengan kejam dan sadis / Luka yang ditorehkan begitu dalam”.

Lebih jelas lagi, tergambar dalam penggal terakhir puisi tersebut. “Jadi ini yang namanya cinta / Deritanya tiada akhir”.

Maka, hati-hati menjaga hati. Jangan cepat jatuh cinta. Jangan cepat terpedaya. Bentengi diri dengan iman yang kuat. Jaga diri dengan akhlak mulia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun