[caption id="attachment_193844" align="aligncenter" width="300" caption="ilustrasi : reuters"][/caption]
Saat di sebuah forum saya menggambarkan suasana hati orang yang tengah jatuh cinta, seorang teman menyampaikan bahwa gejala dan tanda-tanda jatuh cinta itu sudah diungkapkan secara gamblang oleh seorang seniman Jawa sekitar limapuluhan tahun lalu, dalam lagu berjudul Wuyung. Lagu itu diciptakan oleh Ismanto, sekitar tahun 1960-an, yang dianggap sebagai gaya baru –pada masanya-- dalam jenis musik keroncong berlanggam Jawa.
Saya sendiri terhenyak dengan cerita teman tersebut, dan segera teringat sebuah lagu yang dengan sangat apik dinyanyikan ulang oleh Manthous. Di tangan Manthous, lagu ciptaan Ismanto ini menjadi kembali populer di kalangan pecinta Campur Sari. Sebagai orang kampung, sejak kecil saya sering mendengar lagu itu dinyanyikan orang, namun saya tidak hafal liriknya. Penasaran dengan penuturan teman tersebut, saya langsung searching lirik lagu Wuyung. Dengan sangat mudah, ketemulah liriknya.
Gejala Wuyung
Wuyung, judul lagu tersebut, maknanya adalah jatuh cinta. Setelah saya baca lengkap liriknya, ternyata benar, lagu ini menggambarkan suasana hati orang yang tengah jatuh cinta. Inilah lirik lagu jadul tersebut.
Laraning lara / Ora kaya wong kang nandhang wuyung / Mangan ora doyan / Ora jenak dolan neng omah bingung /
Mung kudu weruh / woting ati duh kusuma ayu / Apa ora trenyuh / sawangen iki awakku sing kuru /
Klapa mudha leganana nggonku nandhang branta / Witing pari dimen mari nggonku lara ati / Aduh nyawa /
Duh duh kusuma / Apa ora krasa apa pancen tega / Mbok mbalung janur / Paring usada mring kang nandhang wuyung
Agak sulit untuk menterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, karena akan sangat banyak mengurangi keindahan rasa bahasanya. Ada beberapa kata yang bahkan tidak bisa diterjemahkan apa adanya karena berupa tembung sanepa. Misalnya kata witing pari, klapa mudha, dan mbalung janur. Harus dicari artinya terlebih dahulu, kemudian dipahami kaitan dengan kalimat berikutnya. Ini untuk memperindah bahasa dalam sastra Jawa.
Witing pari adalah pohon padi, dalam bahasa Jawa disebut damen. Maka disambungkan untuk mengungkapkan kata dimen, yaitu dimen mari yang artinya agar sembuh. Ada kedekatan pengucapan kata damen dengan dimen. Klapa mudha atau kelapa muda, dalam bahasa Jawa disebut degan, disambungkan dengan kalimat berikutnya untuk mengungkapkan leganana, yang artinya legakanlah. Ada kedekatan pengucapan kata degan dengan legan dalam kata leganana.
Mbalung janur atau balung janur, adalah tulangnya janur. Janur adalah daun kelapa, tulangnya janur, dalam bahasa Jawa disebut sada, atau lidi dalam bahasa Indonesia. Disambungkan dengan kalimat berikutnya, untuk mengungkapkan kata usada yang artinya obat atau kesembuhan. Ada kedekatan pengucapan kata sada dengan usada. Jadi beberapa tembung sanepa tersebut tidak bisa masuk dalam terjemahan, karena itu hanya penghias sastra untuk memperindah dan mempertajam rasa bahasa.
Jika diterjemahkan secara bebas, maka kurang lebih maknanya seperti ini.
Sakitnya sakit / tidak seperti orang yang sedang jatuh cinta / makan terasa tidak enak / bepergian tidak nyaman, di rumah juga bingung /
hanya ingin selalu melihat si tambatan hati / duhai bunga yang cantik / apa kamu tidak sedih / lihatlah badanku yang kurus ini /
legakan perasaanku yang sedang kasmaran / biar sembuh sakit hatiku / aduh jiwaku /
wahai bunga / apakah kamu tidak merasa, atau memang tega / berilah obat kepada aku yang sedang kasmaran
Laraning Lara, Itulah Wuyung
Sakitnya sakit, tidak ada yang lebih sakit daripada orang yang jatuh cinta. Begitu penggal pertama lagu tersebut. Luar biasa mengharu biru cara mengungkapkannya. Jatuh cinta justru dikatakan sebagai sakit yang paling sakit. Beberapa kalangan pujangga menyebutkan jatuh cinta itu adalah derita tanpa akhir. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, bepergian tidak nyaman, di rumah pun bingung.
Seorang ulama besar, Ibnul Qayyim al-Jauzy menyatakan, “Jika engkau ingin tahu tentang siksaan pemburu dunia, maka renungkanlah keadaan orang yang sedang didera rasa cinta“. Hal ini menggambarkan, betapa para pemburu kenikmatan dunia justru berada dalam kondisi yang kontradiktif, karena jatuh cinta justru membuat mereka menjadi sakit.
Seorang penyair mengungkapkan :
Tidakkah di dunia ini ada orang yang lebih menderita dari pencinta
Meski ia mendapatkan cinta ini manis rasanya
Engkau lihat ia selalu menangis pada setiap keadaan
Karena takut berpisah, atau takut karena rindu mendalam
Ia menangis jika berjauhan, sebab didera kerinduan
Ia menangis pula saat berdekatan, sebab takut perpisahan
Air matanya mengalir saat bertemu
Air matanya mengalir saat berpisah
Sakit, bukan? Bahkan seperti menyiksa diri. Saya pun menemukan sebuah puisi berjudul “Cinta, Derita Tiada Akhir” yang mengungkapkan rasa sakit ini, di blog Fienangels (fienangels.blogspot.com/2008/10/cinta-derita-tiada-akhir.html). Puisi yang menggambarkan dengan jelas, betapa sakitnya cinta.
Kau hancurkan benteng pertahananku dan kau penjarakan aku dengan cintamu
Kini kau pergi begitu saja meninggalkanku sebagai tawanan perang
Kepedihan menyeruak masuk mengiris hatiku
Terpaksa kuterima karena perisaiku tak mampu lagi menghalangi
Menusuk jantungku dengan kejam dan sadis
Luka yang ditorehkan begitu dalam
Air mata tak lagi kurasa padahal masih mengalir turun
Aku tak mengerti kenapa ini terjadi
Aku si penakluk cinta, sudah kalah
Keluar sebagai pecundang dalam perang tak berwujud
Sakitnya begitu nyata
Ingin kupaksa keluar bersama setiap helaan nafasku
Tapi bagaimana bisa, kalau bahkan nafas saja tak lagi kurasakan
Semangatku, asaku, warna kehidupanku, semua buyar
Mataku tak bisa lagi menatap dunia yang luas
Bukan karena dunia tampak kosong
Bukan..bukan karena kekosongan
Suram dan buram, cuma itu yang terlihat saat ku memandang segala arah
Jadi ini yang namanya cinta
Deritanya tiada akhir
Luar biasa penderitaan dan sakit yang muncul karena jatuh cinta. Ungkapan puisi tersebut memperkuat “laraning lara” dalam lagu Wuyung. Coba perhatikan penggalan kalimat puisi ini, “Menusuk jantungku dengan kejam dan sadis / Luka yang ditorehkan begitu dalam”.
Lebih jelas lagi, tergambar dalam penggal terakhir puisi tersebut. “Jadi ini yang namanya cinta / Deritanya tiada akhir”.
Maka, hati-hati menjaga hati. Jangan cepat jatuh cinta. Jangan cepat terpedaya. Bentengi diri dengan iman yang kuat. Jaga diri dengan akhlak mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H