Saya bukan ahli kopi. Bahkan tidak ngerti seluk beluk kopi. Saya juga bukan penggila kopi. Biasa saja, kopi bagi saya adalah salah satu dari minuman yang bisa saya nikmati.
Namun saat menikmati kopi di Klinik Kopi, memang terasa ada yang berbeda. Tiba di lokasi sekitar jam 19.30 selepas isya. Tempat parkir yang hanya di jalan depan warung terasa sudah penuh. Suasana tampak reman-remang, bahkan awalnya kesulitan menemukan pintu masuk. Kecil saja pintu pagarnya.
Setelah berada di dalam arena Klinik Kopi, tampak beberapa bangku dan kursi, ada pula lokasi untuk lesehan. Anak-anak muda duduk berkelesotan memenuhi seluruh area warung. Ada yang ngobrol, ada yang duduk berdua diam saja, ada yang asyik dengan gadget, ada pula yang membaca majalah dan buku.
“Sialakan tunggu dulu Pak. Ini nomer antrinya”, kata Abang penjaga.
Saya lihat, nomer 27. Lalu saya dan teman-teman ikut duduk berkelesotan di tempat lesehan yang tidak terlalu luas dan lampunya temaram.
Saat kami mulai duduk menunggu sembari mengobrol, kami mendengar panggilan nomer 20. Wah, masih 7 antrian lagi baru tiba giliran kami. Tidak apa, sambil menunggu pula beberapa teman yang pengen bergabung dan belum tba di lokasi.
Kami mengobrol tentang segala sesuatu. Kurang lebih satu jam mengobrol, baru mendengar nomer antri 27. Kami segera bangkit. Abang penjaga pintu bertanya, “Berapa orang rombongan?”
“Ada sepuluh orang”, jawab saya.
“Kalau begitu dua kali saja mas. Sekarang lima duluyang masuk, yang lima lagi ngantri dulu ya...” ujarnya.
“Tidak bisa semuanya kah?” tanya saya.