[caption id="attachment_320489" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
“Saya sudah memasuki usia 40 tahun, tapi mengapa tidak ada gejala-gejala puber kedua pada diri saya?” tanya seorang lelaki kepada saya.
Pertanyaan seperti ini banyak kita jumpai dalam kehidupan keseharian. Selama ini banyak kalangan masyarakat percaya adanya puber kedua, yang dipahami sebagai munculnya “kegenitan” atau munculnya gejala masa puber pada periode paruh baya. Sedemikian kuat kepercayaan orang terhadap puber kedua, sampai seakan-akan hal itu menjadi sebuah keharusan atau kemestian dalam sejarah kehidupan semua manusia.
Ketika seseorang tidak menjumpai gejala puber kedua dalam dirinya, padahal sudah memasuki usia 40 tahun, maka seseorang mematut-matut diri agar bisa segera puber kedua, atau bersiap-siap untuk menyambut puber kedua, atau mempuber-puberkan dirinya. Ketika gejala puber tidak juga muncul, seseorang merasa dirinya tidak normal, karena tidak sama dengan yang lain. Ia bertanya-tanya, “Mengapa diriku tidak mengalami puber kedua?”
Perubahan Sistem Kerja Tubuh
Apakah yang terjadi pada seseorang yang sudah mencapai usia 40 tahun, adakah yang spesifik padanya? Ternyata, usia 40 memang mendapatkan perhatian yang spesifik di dalam Al Qur’an:
“Sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya mencapai empatpuluh tahun, ia berdoa: Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal salih yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang yang berserah diri “ (Al Ahqaf: 15).
Para ulama menjelaskan bahwa Nabi-nabi diutus Allah untuk ummat manusia ketika usia mereka mencapai 40 tahun. Usia ini dianggap sebagai kedewasaan dan kematangan, atau perpindahan dari usia muda menuju usia tua. Namun, apakah pada usia itu selalu muncul fenomena yang sering disebut sebagai puber kedua itu? Tentu saja tidak. Bahkan banyak kalangan medis menolak adanya puber kedua itu, karena itu hanya mitos.
Situs doctorslounge.com menjelaskan, istilah puber kedua sebenarnya tidak pernah ada dalam dunia medis. Puber hanya sekali seumur hidup, dan biasanya terjadi ketika seseorang menginjak usia 17 tahun. Ketika seseorang mencapai usia 40 tahun, ada berbagai hal yang mulai berubah dalam dirinya. Yang terjadi adalah berubahnya sistem kerja di dalam tubuh yang berpengaruh pada perubahan sistem hormon sehingga berdampak kepada perilaku seseorang.
Tatkala manusia mengalami perubahan pola kerja metabolisme tubuh di usia empat puluhan, telah menyebabkan terjadinya penurunan performa pada dirinya. Hal ini yang seringkali menyebabkan seseorang kehilangan kepercayaan diri mereka dan memilih untuk mencari pelampiasan. Inilah yang kemudian memunculkan fenomena “kegenitan”, karena dilampiaskan dengan cara yang tidak benar.
Misalnya, ketika seseorang merasakan kejenuhan hidup berumah tangga di usia empat puluhan, lalu masing-masing dari suami dan istri mencari pelampiasan ke luar rumah. Mereka bereksperimen, suami berinteraksi dengan perempuan lain yang lebih muda dan lebih menarik, karena mulai merasa bosan dengan istri yang di rumah. Istri berinteraksi dengan laki-laki lain yang lebih membuatnya mendapatkan kenyamanan psikologis, karena jenuh dengan kondisi suami yang “begitu-begitu saja”.
Yang seharusnya dilakukan untuk menanggapi perasaan kejenuhan di usia tersebut adalah dengan melampiaskan energi dan potensi pada hal-hal positif seperti semakin giat beribadah, semakin banyak terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, tambah giat bekerja dan berolahraga, dan aktivitas positif lainnya.
[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="ilustrasi : www.askdescamp.com"]
“Krisis paruh baya” atau sering disebut puber kedua yang banyak dipercaya akan terjadi pada usia empat puluhan sesungguhnya lebih banyak bersifat mitos. Fenomena membeli sebuah mobil convertible merah dan selingkuh dengan sekretaris kantor, sering digambarkan sebagai gejala laki-laki yang terkena krisis paruh baya atau puber kedua, sesungguhnya bukanlah fenomena pada usia empatpuluh.
Fenomena ini telah melambungkan nama Monica Lewinsky karena skandal Gedung Putih, dan fenomena ini juga diangkat menjadi tema dalam film American Beauty, namun sebenarnya tidaklah terjadi secara umum. “Itu hanya membuat novel dan film menjadi menarik, tapi sebenarnya tidak akurat,” kata Margie Lachman, ahli psikologi dari Brandeis University di Massachusetts.
Alexandra Freund, peneliti masa hidup di University of Zurich di Swiss, menyatakan sebenarnya tak ada waktu yang spesifik dalam kehidupan yang membuat seseorang mengalami krisis. “Ada waktu-waktu ketika sesuatu mengkristal sebagai sebuah gangguan yang sangat dalam dan amat problematis di dalam kehidupan Anda,” katanya. “Orang mengalami tipe-tipe krisis ini, tapi tidak seluruhnya berkaitan dengan usia.”
Sebaliknya, kata Lachman, krisis biasanya dipicu oleh sejumlah peristiwa yang dapat terjadi pada segala usia, misalnya kemunduran karier, kematian sahabat atau kerabat, serta penyakit serius. Ahli epidemiologi tidak menemukan adanya lonjakan dalam kejadian negatif, seperti ketidakpuasan karier dalam usia setengah baya.
Mitos itu berawal ketika psikolog Elliot Jaques mengemukakan istilah krisis paruh baya pada 1960-an berdasarkan studi terhadap artis dan pasien yang mengalami depresi dan kegelisahan karena bertambah tua. “Seniman diketahui senang mendramatisasi hidupnya, itu pekerjaan mereka,” kata Alexandra Freund.
Jika Mencari, Akan Ketemu
Karena mempercayai mitos puber kedua, maka beberapa orang yang sudah memasuki usia empat puluhan tahun merasa gelisah ketika hal itu tidak muncul dalam dirinya. Ketika ia mencari-cari dan bahkan mempuberkan diri, maka akan ketemu juga fenomena yang diyakini sebagai puber kedua. Padahal kalau peristiwa selingkuh, tidak perlu menunggu usia empatpuluh tahun. Anak muda usia dua puluhan tahun yang baru saja menikah selama setahun, bisa juga jatuh cinta kepada orang lain dan akhirnya berselingkuh.
Maka ketika sudah memasuki usia empat puluh tahun, hendaklah semakin mendekat kepada ajaran agama. Semakin banyak bersyukur, banyak beribadah, banyak berdoa, banyak taubat, banyak istighfar, namun juga harus semakin banyak karya nyata untuk kebaikan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, bahkan dunia. Jika mencari kebaikan, maka pasti akan ketemu juga dengan kebaikan.
Tapi kalau mau mencari selingkuhan, kapan pun bisa dilakukan, tanpa menunggu usia empat puluh.... Akhirnya kembali kepada kita, apakah yang kita cari dalam kehidupan ini. Jika mencari surga, insyaallah akan bertemu. Jika mencari dosa, sepertinya mudah sekali mendapatkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H