Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ingin Mengalahkan Pasangan atau Mencari Penyelesaian?

9 Maret 2015   18:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:56 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425901259689908174

[caption id="attachment_401673" align="aligncenter" width="470" caption="ilustrasi : www.blogs.psychcentral.com"][/caption]

Budi dan Novie adalah pasangan suami-istri dengan dua anak-anak yang mungil dan lucu. Hamid, anak pertama, kelas satu di sekolah dasar, sedangkan Nisa anak kedua, belajar di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Budi bekerja di sebuah instansi pemerintah, sedangkan Novie bekerja di instansi swasta. Kegiatan kerja Budi lebih formal dan mengikat, sedangkan sifat pekerjaan Novie lebih luwes dan tidak terlalu mengikat, bahkan beberapa bagian bisa dikerjakan di rumah.

Setiap hari, Budi berangkat kerja pukul 06.00 pagi dari rumah. Sedangkan Novie berangkat  pukul 06.30 sambil membawa dua anaknya untuk diantar ke sekolah, karena sekolah Hamid dan Nisa berada dalam satu kompleks lokasi. Budi pulang kerja pukul 16.00 namun biasa sampai di rumah sudah pukul 18.00 karena kadang masih menyelesaikan pekerjaan ataupun karena macet di perjalanan. Sedangkan Novie pulang kerja pukul 15.00 sambil menjemput dua anaknya sekaligus.

Sebagaimana keluarga lainnya, tentu saja keluarga Budi dan Novie juga mengalami berbagai dinamika. Ada berbagai persoalan kecil dan praktis yang kadang memicu pertengkaran di antara mereka berdua. Kadang pertengkaran terjadi dengan datar dan singkat saja, namun kadang tampak sengit dan berlama-lama. Hal-hal yang menjadi rutinitas kegiatan hidup sehari-hari, bisa menimbulkan kesalahpahaman hingga memicu pertengkaran.

Suatu siang, Novie menyampaikan kepada Budi bahwa dirinya tidak bisa menjemput anak-anak karena ada tambahan kegiatan di kantor tempatnya bekerja. Novie minta agar Budi bisa menyempatkan menjemput anak-anak.

“Itu kan kewajiban kamu untuk menjemput Hamid dan Nisa. Mengapa aku yang tiba-tiba harus menjemputnya?” tanya Budi dalam telepon.

“Aku kan sudah setiap hari menjemput mereka Bang.... Sesekalilah Abang yang menjemputnya, biar Abang bisa lebih dekat dengan anak-anak,” jawab Novie.

“Kamu selalu memberi tahu mendadak informasinya. Kalau dari kemarin kamu menyampaikan hal ini, aku kan bisa mengatur jadwal lebih cermat. Jadinya tidak mengacaukan jadwalku,” sergah Budi.

“Ya kan aku tahunya kalau ada acara tambahan di kantor juga baru saja Bang....  Masa jemput anak saja gak mau, padahal anak-anak senang loh kalau dijemput Abang...,” ungkap Novie.

“Kamu selalu saja menuduh aku begitu. Aku kira itu hanya alasan kamu untuk menyuruhku menjemput anak-anak. Bukan soal kegiatan tambahan di kantor seperti yang kamu katakan,” Budi semakin emosi.

“Ayolah Bang, sekali ini saja. Aku harus ikut acara tambahan di kantor sore nanti. Aku benar-benar minta tolong. Please Bang...,” Novie tetap menghiba.

“Tidak bisa. Aku tidak mau mengorbankan pekerjaanku. Tidak mungkin aku meninggalkan pekerjaan begitu saja di siang hari. Aku bisa dimarahi atasanku,” ujar Budi bersikukuh.

“Berkorbanlah Bang, kan demi anak-anak. Apa iya kita biarkan anak-anak telantar di sekolah sampai malam...,” jawab Novie.

“Tidak mau. Itu tugasmu. Memang kenapa kamu memaksa diri untuk ikut acara tambahan? Memang ada siapa yang istimewa di acara tambahan itu?” Budi tetap emosi.

Pertengkaran lewat telepon itu berlangsung panas. Budi dan Novie sama-sama mengotot dan mempertahankan pendapat serta keinginannya.

Bagaimana Anda Bertengkar?

Marc Feitelberg, seorang psikolog menyatakan, dalam sebuah hubungan antarmanusia, semakin erat hubungan satu orang dengan orang lainnya, semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik di antara mereka. Marc menjelaskan, konflik atau pertengkaran dalam sebuah hubungan adalah suatu hal yang natural, wajar, dan bahkan menyehatkan. Sayangnya kita tidak diajari bagaimana mengatasi beda pendapat itu, “Maka kita harus mempelajarinya," ungkap Marc.

Marc memberikan cara bertengkar yang sehat, yakni pertengkaran yang bisa menghasilkan solusi akhir paling melegakan kedua belah pihak atau biasa dikenal sebagai win-win solution. Hendaknya kedua belah pihak memaparkan semua masalah, kemudian berusaha menegosiasikan keinginan masing-masing. Pada contoh Budi dan Novie di atas, maka hendaknya mereka berdua bersedia melakukan negosiasi, agar hasilnya melegakan kedua belah pihak. Dengan cara ini mereka telah bertengkar lebih baik.

Semestinya Budi dan Novie bisa lebih menempatkan diri secara tepat dan tenang. Bukankah mereka ingin mendapatkan solusi terbaik? Mereka ingin mendapatkan penyelesaian yang melegakan bagi kedua belah pihak? Novie bisa mengikuti acara tambahan di kantor. Budi bisa bekerja di kantor sampai selesai. Anak-anak ada yang menjemput dan tidak terlantar di sekolah. Sepanjang semua hal tersebut bisa diakomodasikan dan diselesaikan, maka itulah win-win solution.

Untuk itu, hendaknya masing-masing pihak bisa bertanya kepada diri sendiri, "Apakah ingin menjadi benar, atau ingin menang?" ungkap Marc. Jika kedua belah pihak bersepakat untuk mencari solusi terbaik, agar semua menjadi terselesaikan, maka pertengkaran bisa lebih konstruktif dan mudah terselesaikan. Namun jika kedua belah pihak ingin menang dan mengalahkan pasangan, maka suasana pertengkaran semakin rumit. Kedua belah pihak akan bersikukuh dengan pendapatnya dan mencari sejumlah argumen untuk memenangkan dirinya.

Saat bertengkar, jangan berbicara bersamaan apalagi saling tidak mendengarkan. Tapi lakukan pembicaraan dengan bergantian dan saling mendengarkan pendapat pasangan. Saat pasangan berbicara, jangan memotong pembicaraannya, menginterupsi dan jangan langsung memutuskan jalan keluar secara sepihak. Berikan kesempatan yang sama kepada pasangan untuk berbicara, sebagaimana Anda juga ingin berbicara dan ingin didengarkan.

Setelah mendengar argumen pasangan, perjelas maksud pernyataannya dan ulangi lagi keinginan Anda agar tidak ada kesalahpahaman, sebelum mengambil keputusan. Tujuan mendengar pendapat pasangan adalah untuk mengerti keinginan yang sebenarnya.

Bahan Bacaan :

http://www.tempo.co/read/news/2011/09/07/205355042/Cara-Bertengkar-Sehat-dengan-Pasangan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun