Erich Fromm menyatakan, sebagian dari kita sesungguhnya tengah terperangkap dalam pasungan zaman modern. Sebagian dari kita bahkan tengah tidak mampu menjawab problem keterasingan atau problem alienasi. Manusia terasing di tengah gegap gempita kehidupan dan peradaban. Manusia teralienasi di tengah kebisingan industri dan teknologi informasi. Jiwa menjadi kering dan terasing. Pada titik itu, yang mereka perlukan adalah cinta.
Cinta itu seperti seni, kata Erich Fromm. Dia harus dirawat dan diperjuangkan. Cinta tidak tumbuh liar di hutan tak bertuan. Justru cinta harus dijaga agar selalu tumbuh dan berkembang. Inilah cinta yang dewasa.
Karakter aktif dari cinta yang dewasa ditunjukkan dengan hasrat untuk memberi daripada menerima. Memberi disini memiliki makna wujud paling nyata dari potensi diri. Dalam setiap tindakan memberi, individu akan merasakan kekuatan, kekayaan, dan kekuasaan atas dirinya. Maka memberi akan lebih membahagiakan daripada menerima. Pada akhirnya memberi akan membuat orang lain juga menjadi pemberi. Karena cinta adalah kekuatan yang melahirkan cinta.
Ramadhan : Cinta Itu Bersemi Kembali
Terlalu picik jika hanya membicarakan cinta kepada sesama manusia. Cinta hakiki adalah kepada Sang Pencipta. Inilah hakikat sesungguhnya dari cinta, mencintai Sang Pemilik dan Pemberi Cinta. Berharap kita mendapat kelimpahan cinta dariNya.
Alienasi bisa terjadi akibat terjebak dalam rutinitas kegiatan sehari-hari. Hidup menjadi mekanik, seperti mesin atau robot. Bergerak, mengalir, tanpa sentuhan jiwa. Sebelas bulan lamanya irama kerja mendera tanpa jeda.
Kini saatnya kita nikmati jeda. Ramadhan mulia, menyemai kembali cinta kita kepada Sang Pencipta. Sebulan mendapatkan madrasah spiritual untuk selalu mengingat dan mendekat kepadaNya.
Puasa untukNya. Tarawih untukNya. Tadarus untukNya. Jama’ah ke masjid untukNya. Zakat untukNya. Infak untukNya. Berbuat baik untukNya. Menjaga lisan untukNya. Menjaga pandangan untukNya. Menjaga tangan dan kaki untukNya. Bertindak benar untukNya. Berlaku jujur untukNya. Menjauhi maksiat untukNya.
Berharap sebulan ini cinta itu bersemi kembali. Mungkin sudah terlalu jauh jalan kita tempuh, hingga lalai dari mencintaiNya. Seperti kata Erich Fromm, cinta itu seperti seni. Ia harus dirawat, dijaga dan diperjuangkan keberadaannya.
Cinta kepada Sang Pencipta menghajatkan untuk selalu memberi. Selalu berkontribusi. Selalu berbuat terbaik untuk Dzat yang paling kita cintai, Tuhan Semesta Alam ini. Jika cinta itu artinya memberi, maka mengapa masih enggan untuk memberikan semua potensi yang kita miliki untuk Ilahi ?
Semoga Ramadhan kita kali ini menyemai kembali cinta hakiki dalam hati sanubari. Cinta yang murni, kepada Ilahi Rabbi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H