[caption id="attachment_358696" align="aligncenter" width="290" caption="ilustrasi : www.rebloggy.com"][/caption]
Hidup berumah tangga itu identik dengan adanya rumah yang ditempati bersama oleh semua anggota keluarga, seperti suami, istri dan anak-anak. Mereka beraktivitas bersama, berinteraksi dan saling berkomunikasi dalam suasana yang sangat intim dan intensif, tanpa sekat, tanpa jarak. Namun pada zaman kita hidup sekarang ini banyak realitas rumah tangga yang tidak demikian adanya.
Saat ini sangat banyak pasangan suami isteri yang tinggal terpisah disebabkan oleh karena pekerjaan, studi, atau karena alasan-alasan lain. Ada yang terpisah negara, misalnya suami di luar negeri sementara isteri dan anak-anak di Indonesia; atau suami di Indonesia sedangkan isteri bekerja di luar negeri. Ada yang terpisah pulau, ada yang terpisah kota, dan lain sebagainya.
Mereka terpisah bukan dalam hitungan jam atau hari, namun terpisah jarak dan tempat dalam hitungan bulan bahkan tahun. Situasi ini tentu saja bisa menimbulkan sejumlah persoalan tersendiri apabila tidak tepat dalam menyikapinya. Suami dan istri harus memiliki kesamaan pandangan dalam menjalani realitas kehidupan jarak jauh, agar hubungan kekeluargaan tetap terjalin dengan harmonis.
Berikut saya sampaikan 7 tips menghadapi realitas cinta jarak jauh akibat keterpisahan suami isteri.
Pertama, keterpisahan harus dipahami sebagai keterpaksaan
Terpisahnya suami dan istri harus dipahami sebagai sebuah kondisi keterpaksaan. Terpaksa berpisah karena studi, terpaksa berpisah karena kerja, terpaksa berpisah karena tuga negara, dan lain sebagainya.
Jangan beranggapan bahwa terpisahnya suami dengan isteri adalah kelaziman atau hal yang "semestinya". Idealnya, suami dan isteri tinggal bersama dalam satu rumah tangga bersama anak-anak. Kalaupun terpisah, itu hanya dalam hitungan jam karena suami dan isteri bekerja di tempat yang berbeda. Sesekali waktu terpisah dalam hitungan hari, karena adanya tugas luar yang harus dilakukan salah satu dari mereka.
Secara umum, suami dan isteri harusnya bersama-sama dalam satu rumah, agar bisa melaksanakan hak dan kewajiban sebagai suami dan isteri, maupun sebagai orang tua.
Kedua, harus ada batas waktu yang jelas
Keterpisahan suami dengan isteri harus ada batas waktu yang jelas, jangan sampai berpisah tempat selama-lamanya. Misalnya, terpaksa berpisah selama dua tahun karena sang suami mengikuti pendidikan S-2 di luar negeri. Atau terpaksa berpisah selama empat tahun karena sang isteri bekerja di negara lain dalam kurun waktu tersebut.
Harus ada hitungan waktu yang jelas, sehingga bisa mengatur suasana dan perasaan pada suami dan isteri. Terpisah tanpa kejelasan batasan waktu bisa menimbulkan suasana ketidakpastian antara suami dan istri.
Ketiga, harus ada upaya bertemu
Jika terpisah dalam waktu yang lama, harus ada upaya untuk tetap bertemu dalam rentang waktu tertentu. Misalnya setiap sebulan atau dua bulan sekali suami pulang menengok isteri, atau isteri yang menengok suami. Jangan sampai terpisah jarak dan waktu yang sangat lama, tanpa kejelasan, dan tanpa upaya untuk berjumpa.
Ada banyak keluarga jarak jauh yang memiliki tradisi PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad). Rekan-rekan yang bekerja di Jakarta sementara isteri dan anak-anak di luar Jakarta, terbiasa pulang ke rumah hari Jumat selepas kantor, namun harus kembali lagi ke Jakarta hari Minggu karena Senin sudah masuk kerja lagi. Lumayan, dalam sepekan sempat bertemu isteri dan anak-anak pada hari Sabtu dan Minggu.
Keempat, tetap berkomunikasi
Walaupun terpaksa terpisah dengan pasangan, harus tetap membangun komunikasi yang rutin dan intens. Jangan membiarkan terpisah tanpa ada jalinan komunikasi, karena hal ini akan membuat terbentuknya jarak psikologis. Jika jarak psikologis sudah terbentuk, akan memudahkan munculnya serangkaian persoalan dalam hubungan. Misalnya kecemburuan, salah pengertian, dan seterusnya.
Komunikasi bisa dilakukan dengen telpon, atau chatting, teleconference, email, whatsApp, SMS dan lain sebagainya. Sangat banyak teknologi yang bisa membuat suami dan istri terhubung terus 24 jam sehari semalam.
Kelima, hindari perasaan nyaman saat terpisah
Jika ada perasaan lebih nyaman apabila berpisah tempat tinggal dengan pasangan, ini harus segera diterapi. Agama memberikan tuntunan pernikahan adalah agar masing-masing merasa tenteram dan bahagia (sakinah, mawadah wa rahmah) bersama pasangannya. Dengan demikian, apabila terpisah oleh jarak dan waktu akan menyebabkan ketidaktenteraman dan ketidakbahagiaan. Merasakan ada sesuatu yang sangat berharga hilang dari sisinya.
Jika terbiasa hidup terpisah, akhirnya menimbulkan perasaan nyaman saat tidak bersama pasangan. Lebih bahagia ketika tidak ada pasangan, ini adalah bagian dari gejala hilangnya cinta dalam rumah tangga.
Keenam, jangan kuburkan perasaan rindu
Jangan memungkiri perasaan rindu yang muncul di hati akibat terpisah dari pasangan. Bahkan seharusnya perasaan rindu itu ditumbuhkan dan dijaga, karena itulah tanda anda masih saling mencintai satu dengan yang lain.
Adalah hal yang wajar dan patut disyukuri bahwa anda memiliki perasaan rindu kepada pasangan apabila berpisah dalam waktu lama. Jangan coba-coba mengubur perasaan rindu kepada pasangan anda, karena perasaan rindu itu bisa anda kelola menjadi energi untuk beraktivitas dengan serius, dan menjadi daya dorong untuk segera pulang menengok pasangan dan anak-anak di rumah.
Ketujuh, kuatkan iman, hindari godaan
Terpisah jauh dan lama dari pasangan pasti sangat banyak tantangan dan godaan. Seorang ibu rumah tangga pernah bercerita, sangat banyak godaan saat dirinya dilanda kesepian lantaran ditinggal tugas suami dalam waktu yang lama. Demikian pula suami yang berada di tempat tugas, yang terpisah lama dari isteri, akan banyak mendapat godaan.
Maka kuatkan iman, jangan mudah tergoda oleh orang-orang di sekitar yang berlaku iseng memanfaatkan kesepian yang anda alami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H