Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kaleidoskop Keluarga 2024: Rapor Merah Keluarga Indonesia

13 Desember 2024   23:24 Diperbarui: 13 Desember 2024   23:24 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menteri Agama RI Nasaruddin Umar menyebut perceraian sebagai isu besar. "Ada satu isu besar di Indonesia yang perlu dicermati bersama, tapi tidak diangkat sebagai isu besar. Saya pribadi (menganggap), ini (adalah) isu besar, yaitu angka perceraian," ungkap Nasaruddin dalam rapat kerja dengan Komite III DPD RI di Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2024).

Menag menegaskan, tidak ada negara yang ideal dari masyarakat yang berantakan. Tidak ada negara yang dapat berdiri kokoh di atas rumah tangga dan masyarakat yang bermasalah. "Pembinaan keluarga harus diperkuat," ujarnya. Nasarudin menyebut perceraian banyak disumbang oleh pasangan muda dengan usia pernikahan 5 tahun ke bawah.

Meskipun angka perceraian di tahun 2023 menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun jumlahnya masih sangat tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 463.654 kasus. Jumlah ini mengalami penurunan pertama sejak pandemi Covid-19 sebesar 10,2% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 516.344 kasus.

Berdasarkan data dari website Mahkamah Agung Republik Indonesia, angka perceraian di Indonesia di pertengahan tahun 2024 mencapai 168.889 kasus, dan menjelang akhir tahun 2024 mencapai 410.175 kasus. Belum ada laporan resmi jumlah perceraian di Indonesia hingga akhir tahun ini. Tentu kita semua berharap angka perceraian sepanjang 2024 kembali menurun dari tahun sebelumnya.

Rapor Merah: Hubungan Toksik?

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), penyebab perceraian terbanyak pada tahun 2022 karena perselisihan dan pertengkaran. Jumlahnya mencapai 284.169 kasus atau sekitar 63,41 % dari total faktor penyebab perceraian yang terjadi di Indonesia. Sedangkan pada 2023, dari 408.347 kasus perceraian di Indonesia, sebanyak 251.828 di antaranya disebabkan faktor perselisihan dan pertengkaran, atau setara dengan 62% kasus perceraian.

Perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami istri dan tidak ada kemampuan mencari solusi, telah mendominasi alasan perceraian sepanjang dua tahun berturutan. Hal ini menjadi indikasi adanya hubungan toksik, yang tidak mampu mengelola konflik dengan baik.

Data tersebut memberikan gambaran bahwa sangat banyak pasangan suami istri di Indonesia yang gagal mengelola konflik dalam pernikahan. Tentu saja sangat banyak sebab, mengapa pasangan suami istri tidak mampu mengelola konflik. Salah satunya terkait dengan cara memahami realitas konflik dan cara menemukan solusi untuk keluar dari konflik.

Konflik pasangan suami istri adalah hal yang wajar dan dapat terjadi pada pernikahan yang bahagia sekalipun (Gradianti & Suprapti, 2014). Konflik dalam pernikahan dapat bersifat konstruktif maupun destruktif. Konflik konstruktif dicirikan dengan adanya interaksi pasangan suami istri yang saling belajar, bersifat fleksibel, dan fokus pada relasi dan Kerjasama. Konflik seperti ini berdampak menyehatkan relasi dan kesehatan mental (Greef & Bruyne, 2000).

Sedangkan konflik destruktif dicirikan dengan perilaku menghindar, tidak membicarakan konflik secara terbuka, serta komunikasi verbal dan non verbal yang buruk (Greef & Bruyne, 2000). Konflik yang destruktif dapat merusak relasi pernikahan dan mengganggu kesehatan mental (Greef & Bruyne, 2000).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun