Sungguh saya menangis membaca goresan tangan terakhir dokter cantik itu. Air hangat meleleh membasahi mata dan pipi saya. Deras sekali.
Kalimat demi kalimat dalam goresan tangan ini. Ada misteri dan pertanyaan sangat panjang. Menggelayut terus menerus tak terjawabkan.
Sudah sebegitu panjang ia mengajukan pertanyaan. Berulang-ulang. Namun ia merasa tak mendapat jawaban. Maka ia beranikan diri mengetuk pintu itu. Ingin pulang.
"Tuhan, aku sakit. Aku mohon tempat, aku pulang" (1).
Sebuah kalimat yang menggambarkan rasa sakit tak tertahankan. Melengking, nyaring. Namun tak ada yang mendengar.
"Aku ingin berhenti. Sakit sekali, sungguh sakit" (1).
Setiap pulang dini hari, ia merasakan sakit tak tertahankan. Tak ada yang mengerti rasa sakitnya. Tak ada yang peduli.
Dan puncaknya adalah malam itu. Ya, sebuah malam di mana rasa sakit sudah tak mampu ia tahan. Ia berada pada titik di mana tak lagi mampu melihat celah.
"Aku merasakan sakit yang luar biasa malam ini. Aku tidak sanggup lagi meneruskan siklus ini" (1).
Ia sudah berjuang, semampu yang ia bisa. Namun ia selalu merasa sepi, sendiri. Tak ada yang mengerti. Tak ada yang menemani.