Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

"Emotional Rollercoasters", Fenomena Palsu tentang Kestabilan Hubungan Pernikahan

16 Juli 2024   05:53 Diperbarui: 16 Juli 2024   06:05 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.linkedin.com/

"Many people assume that if they're feeling bored in a relationship, that means the relationship is doomed. Boredom in a relationship can be a sign the relationship is healthy" --Roxy Zarrabi, 2022.

Menjalani kehidupan pernikahan, bisa mengalami masa-masa kejenuhan dan kebosanan. Pasangan suami istri yang telah menempuh lebih dari 20 atau 30 tahun kehidupan pernikahan, sangat mungkin mengalami titik jenuh. Hidup bersama dengan orang yang sama dalam waktu lama, wajar saja jika sempat hadir rasa jenuh dan bosan.

Namun, jika rasa seperti ini hadir, bukan berarti bahwa hubungan pernikahan mereka buruk. Yang terjadi adalah --mereka mengalami fase kemanusiaan yang utuh, bahwa interaksi antarmanusia wajar saja hadir kejenuhan. Ini manusiawi, dan artinya --mereka berdua ,masih benar-benar manusia yang utuh.

"Banyak orang beranggapan bahwa jika mereka merasa bosan dalam suatu hubungan, itu berarti hubungan tersebut akan hancur. Padahal, rasa bosan dalam suatu hubungan mungkin disebabkan oleh template hubungan seseorang, yang berisi keyakinan inti mereka tentang cinta" (Roxy Zarrabi, 2022).

Tentu ada sangat banyak penyebab munculnya kebosanan dan kejenuhan dalam kehidupan pernikahan. Salah satunya adalah respon otak manusia yang cenderung lebih perhatian kepada rangsangan baru yang muncul. Maka ketika dalam suatu kontinum masa yang panjang dan tak ada kebaruan, otak akan cenderung "pasif", melihat sebagai tak ada ancaman yang harus diwaspadai.

"Since our brains are hardwired to pay attention to novel stimuli, a stable and consistent relationship may be taken for granted because your brain has become adapted to the excitement that comes with experiencing a new relationship. This can be particularly true if you're used to relationships that often feel like emotional rollercoasters" --Roxy Zarrabi, 2022.

Zarrabi (2022) menyatakan, otak manusia dirancang untuk memperhatikan rangsangan baru. Hubungan yang stabil dan konsisten mungkin dianggap remeh, karena otak Anda telah beradaptasi dengan kegembiraan yang muncul saat mengalami hubungan baru. Hal ini terutama berlaku jika Anda terbiasa dengan hubungan yang sering kali terasa seperti "rollercoaster emosional".

Hubungan yang terasa seperti "rollercoaster emosional" sering kali menimbulkan kecemasan dan ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi di masa depan; kapan badai berikutnya akan terjadi, dan apa akibat dari semua kegaduhan yang terjadi. Pada sebagian orang, kondisi ini mungkin disalahartikan sebagai kegembiraan, gairah, dan chemistry yang kuat.

Menurut Zarrabi, jika seperti ini pengalaman Anda dalam menjalin hubungan sebelumnya, dan kenyataannya sekarang Anda menikah dengan seseorang yang cenderung stabil dan tidak menimbulkan jenis kecemasan yang sama, sangat mungkin Anda secara keliru berasumsi bahwa tidak ada chemistry atau menganggap hubungan itu membosankan. Hubungan yang stabil tanpa badai yang berarti --justru dianggap sebagai tak ada tantangan.

Ibarat menjelajah arum jeram, namun sungainya terlalu "sopan", tanpa ada tikungan, hempasan dan arus yang tajam menghujam. Anda duduk di 'boat' dengan sangat bosan, menunggu ketegangan yang menggairahkan, dan ternyata tidak segera menemukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun