Zaman dulu, Siti Nurbaya dipaksa menikah dengan Datuk Maringgih, untuk membayar utang ayahnya. Tentu saja Siti Nurbaya menolak, karena sudah memiliki kekasih, Syamsul Bahri. Namun kondisi Baginda Sulaiman --sang ayah tercinta, yang jatuh sakit dan mendapat tekanan psikologis akibat tidak bisa membayar utang, membuat Siti Nurbaya tak berdaya.
Siti Nurbaya terpaksa menikah dengan Datuk Maringgih yang seusia ayahnya. Kisah Siti Nurbaya sepertinya telah melegenda di Indonesia. Marah Rusli, penulis novel itu, seakan ingin memberi pesan, bagaimana dampak apabila pernikahan dipaksakan. Cetakan pertama buku terbitan Balai Pustaka itu adalah tahun 1922. Sudah sangat lama.
Namun kenyataannya, kisah pernikahan yang dipaksakan, masih terus saja terjadi hingga hari ini. Masih banyak kejadian orangtua memaksakan kehendak kepada anaknya, agar menikah dengan seseorang pilihan oragtua. Masih banyak anak perempuan stress karena dipaksa menikah dengan lelaki pilihan ayah atau ibunya.
Bolehkah Orangtua Memaksa Anak Perempuan?
Dalam perspektif fikih, umumnya ulama berpendapat bahwa janda boleh menentukan keberlangsungan akad nikahnya sendiri. Seorang janda diposisikan sebagai pihak yang bisa menentukan nasibnya sendiri. Orangtua tidak berhak memaksanya.
Namun untuk perawan, sebagian ulama berpendapat bahwa wali bisa memaksanya untuk menikah dengan lelaki yang baik baginya. Namun tidak semua wali berhak memaksa, hanya ayah atau kakek saja yang berhak. Jika seorang perawan tidak lagi memiliki ayah atau kakek, dan walinya adalah selain mereka berdua atau wali hakim, maka wali tidak berhak memaksa.
Apakah kebolehan memaksa ini bersifat mutlak? Ada pembahasan menarik dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-5 di Pekalongan pada tanggal 7 September 1930 tentang tema ini. Para ulama berpendapat bahwa tindakan wali yang memaksakan kehendak kepada anak gadis untuk menikah adalah makruh atau tidak dianjurkan. Bahkan ketika muncul mudharat akibat paksaan tersebut, hukumnya bisa berubah menjadi haram.
Dianjurkan untuk menanyakan pendapat anak perawan tentang rencana pernikahannya. Jika dia diam, maka hal tersebut menunjukkan persetujuannya. Mengapa diamnya perawan dianggap sebagai persetujuan? Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al-Fairuzzabadi Al-Syairazi menjelaskan, "Karena dia (perawan) malu menunjukkan kata izin pada ayahnya, maka dijadikanlah diamnya sebagai bentuk persetujuan".
Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al-Fairuzzabadi Al-Syairazi menyatakan, tidak boleh bagi selain ayah atau kakek kandung untuk memaksa seorang gadis menikah. Beliau menjelaskan, "Tidak boleh bagi selain ayah atau kakek menikahkan perawan hingga dia dewasa dan memberikan pernyataan izinnya".
Menurut Imam Syafi'i, tanpa izin dan persetujuan anak gadis yang hendak dinikahkan, nikahnya batal, kecuali ayah kepada anaknya. Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas, Nabi saw pernah menolak pernikahan Khansa' binti Khadzdzam ketika ayahnya menikahkannya dalam keadaan terpaksa (karihah) tanpa persetujuannya serta menganjurkannya untuk memilih.
Mengomentar hadits Ibnu Abbas di atas, Muhammad Ibn Isma'il Ash-Shan'ani dalam kitabnya Subul Al-Salam menyatakan haramnya pemaksaan ayah terhadap anak yang masih gadis (perawan) untuk kawin. Sedangkan Imam Al-Baihaqi sependapat dengan Imam Syafi'i yang membolehkan seorang ayah memaksa kawin anak gadisnya, apabila laki-laki calon suaminya sesuai atau kufu'.