Pagi ini (9 Juli 2024), saya sempat ngobrol santai melalui zoom meeting dengan salah seorang generasi Z. Nama lengkapnya Ahmad Tsabit Makarim, panggilannya Abit.
Ia lahir di Swedia, kemudian menempuh pendidikan dasar dan menengah di Inggris. Ayah dan ibunya asli Indonesia, namun saat ini tinggal menetap dan bekerja di Inggris.
Abit tengah menempuh pendidikan sarjana di Oxford University, jurusan Biologi. Mahasiswa tahun pertama ini juga aktif dalam kegiatan lingkungan, melalui LSM Reserva "The Youth Land Trust".
Abit menyatakan, dirinya sangat tertarik dengan alam dan lingkungan hidup. Ia aktif berkegiatan melalui Reserva untuk melakukan berbagai edukasi dan usaha pelestarian alam, di antaranya adalah konservasi hutan dan lingkungan hidup.
Memilih jurusan Biologi, karena memang ia suka dengan binatang dan alam. Maka akun instagram miliknya @abit.of.nature semuanya berisi tentang binatang dan alam. Hampir tidak ada foto dirinya.
Saat saya searching di postingan IG Abit, hampir tidak saya jumpai ekspos wajahnya. Hampir semuanya berisi foto binatang. Sampai saya kesulitan ketika akan membuat poster publikasi kegiatan sharing online.
Abit menyatakan, "Foto hewan itu lebih penting daripada foto saya", ujarnya. Bukan soal banyaknya likers, namun memposting wajah dirinya adalah hal tidak penting. Ia menganggap, binatang-binatang itulah yang penting untuk mendapat perhatian.
Dalam obrolan ringan melalui zoom tadi pagi, Abit yang tengah berlibur di rumah kakekdi Yogyakarta, memberikan berbagai pandangan sebagai generasi Z. Menurutnya, generasi Z memang sangat peduli dengan isu lingkungan hidup dan isu sosial.
Saat saya singgung soal generasi Z yang sering dianggap lemah, ia menyatakan tidak setuju dengan pendapat itu. Menurutnya, generasi Z itu tidak lebih kuat atau tidak lebih lemah dari generasi lainnya.
"Setiap generasi memiliki tantangan yang berbeda. Maka tidak bisa kita menyatakan dengan pasti bahwa satu generasi lebih kuat atau lebih lemah dari generasi lainnya", ujar Abit.
Apa yang harus dilakukan untuk menguatkan potensi generasi Z? Menurut Abit, kuncinya adalah kolaborasi antargenerasi. "Kita tidak bisa sendiri-sendiri. Kita harus berkolaborasi antargenerasi", ungkap Abit.
Usai ngobrol melalui zoom, Abit saya ajak menikmati soto tahu di daerah Kemasan, Bantul, Yogyakarta. Di tempat yang sederhana dengan menu yang sederhana, ternyata Abit bisa menikmatinya.
"Kamu bisa menikmati masakan Indonesia?" tanya saya.
"Saya sangat senang masakan Indonesia. Bahkan saya belajar memasak sendiri masakan Indonesia", ujar Abit yang cukup kesulitan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Alhamdulillah, bersyukur, sebagai generasi Z muslim di Inggris, Abit tidak melupakan jatidiri sebagai muslim dan jatidiri sebagai bangsa Indonesia. Ia belajar Islam, menjalankan kewajiban agama Islam, dan bahkan ingin belajar bahasa Jawa.
Sukses selalu, Abit.