Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Marwah, Bukan Sekadar Kisah

11 Juni 2024   12:05 Diperbarui: 11 Juni 2024   13:15 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marwah, dokumen pribadi

Kumpulan tulisan yang ada di buku ini, jelas bukan sekedar kisah. Ini adalah marwah. Ini adalah perjuangan yang --sebagiannya, harus berdarah-darah.

Jika hanya sekedar kisah, sepertinya tak terlalu menarik untuk dibaca. Namun karena tengah menuliskan marwah, maka memiliki nilai yang sungguh istimewa. Tak sekedar kumpulan kata-kata. Benar-benar kumpulan jiwa, dan bernyawa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), marwah adalah kemuliaan atau harga diri. Pada dasarnya, setiap orang akan memiliki kebanggaan dan kemuliaan dari beberapa bagian dari kisah kehidupannya. Inilah yang akan membangun pewarisan sejak di dalam rumah, masyarakat, bangsa dan negara tercinta.

Mbak Etica, misalnya, ia menuliskan dengan penuh kebanggaan profesinya "sebagai ibu rumah tangga" (hal. 57 -- 61). Ia tinggal di Gunungkidul, Yogyakarta."Rumah menjadi tempat bekerja alias kantor, tempat mengajar alias sekolah, tempat mengabdi alias melayani seluruh penghuni rumah, dan sebagainya," tulisnya penuh kebanggaan.

"Sejak menamatkan kuliah dan mencicipi sebentar pengalaman kerja di sekolah, kini saya mendedikasikan diri untuk keluarga di rumah", sambung Etica (hal 59). Jelas, ia merasa memiliki marwah dengan pilihan profesinya itu. Tak ada rasa malu --yang pada sebagian kalangan ibu rumah tangga, menyebut posisi dirinya dengan malu-malu.

Demikian pula penuturan Bang Rahmad Suryadi (hal 79 - 83). Beliau adalah guru di SMP Muhammadiyah 30 Jakarta. "Menjadi guru tidak sekedar mengajarkan ilmu kepada murid berdasarkan buku atau media ajar", tulisnya.

"Menjadi guru adalah mengajar dengan profesional, dan membersamai proses mengajar itu dengan sepenuh hati dan kasih sayang, sehingga murid akan selalu nyaman dan dekat dengan gurunya" (hal 80). Tampak betapa bang Rahmad bangga dengan kemuliaan profesinya sebagai guru.

Ada lagi kisah yang dituturkan dengan kebanggaan. Mbak Ismiasih adalah seorang penyuluh pertanian di Lampung Tengah, dan menyebut dengan bangga bahwa profesinya adalah "pemulia manusia" (hal 112 -- 116).

"Pemulia manusia adalah istilah yang saya gunakan untuk profesi penyuluh pertanian," ujarnya. "Penyuluh pertanian adalah agen perubahan. Kegiatan penyuluhan pertanian  bertujuan mengubah perilaku petani dengan meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan" (hal 114).

Pak Noto Susanto berbeda lagi kisahnya. Sejak dari judul tulisan, kita sudah merasakan marwah yang beliau bangun melalui kisahnya, "Kisah Satpam Jadi Dosen yang Menulis 15 Buku" (hal. 130 -- 134). Dengan renyah beliau bertutur, bahwa dirinya mengawali karier di Jakarta sebagai Satpam, yang belum punya pengalaman menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun