Kondisi ini mengalihkan perhatian anak dari mencoba melakukan introspeksi dan evaluasi terhadap konsekuensi dari tindakannya --seperti penyesalan dan rasa malu. Sebaliknya, mereka akan akan memproyeksikan kemarahannya kepada Anda. Anak akan sibuk dengan perasaan betapa tidak adilnya Anda.
Seiring waktu, perasaan seperti ini melatih anak untuk fokus bukan kepada apa yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan, tetapi fokus kepada betapa tidak adilnya orang lain memperlakukannya. Dengan kata lain, anak akan terlatih mengembangkan pola pikir korban (mindset of victimhood), bukan tanggung jawab pribadi.
"Life is already challenging for your child. Every day, she must deal with academic pressure at school, social pressure from her peers, and the ever-present threat of online and offline bullying. Needlessly adding to her stress will make it more difficult for her to develop into a happy, healthy adult", ujar Anna Kaminsky.
Menurut kaminsky, "Kehidupan itu sendiri sudah menantang bagi anak Anda. Setiap hari, anak harus menghadapi tekanan akademik di sekolah, tekanan sosial dari teman-temannya, dan ancaman intimidasi online dan offline yang selalu ada".
Maka, tindakan mengkritik membuat anak bertambah berat persoalan dan tekanannya. "Menambah stres yang tidak perlu akan membuatnya lebih sulit untuk berkembang menjadi orang dewasa yang bahagia dan sehat," ungkap Kaminsky.
Bagaimana Menghindari Kebiasaan Mengkritik Anak?
"Far from wanting to be "bad," most children act out because they are hurt, confused, anxious, tired, overwhelmed, etc. It's therefore important not to take your child's behaviour personally; instead, take a deep breath and objectively assess the severity of what your child has done" --Anna Kaminsky.
Sering kali, kritik dan kata-kata kasar berasal dari reaksi emosional orangtua terhadap perilaku anak. Orangtua menganggap, anak mereka dengan sengaja bersikap jahat ketika melakukan tindakan yang tidak akomodatif. Namun pada kenyataannya, alasan mengapa anak-anak bertingkah seringkali tidak ada hubungannya dengan orangtua mereka.
"Jauh dari keinginan untuk menjadi jahat, kebanyakan anak bertindak karena mereka terluka, bingung, cemas, lelah, kewalahan, dan lain-lain," ujar Kaminsky. "Oleh karena itu, penting untuk tidak mengambil perilaku anak Anda secara pribadi; sebagai gantinya, tarik napas dalam-dalam dan nilai secara objektif tingkat keparahan dari apa yang telah dilakukan anak Anda", lanjutnya.
Jika suatu saat anak Anda menyakiti orang lain --secara fisik atau emosional, berikan konsekuensi atas tindakannya. Misalnya pencabutan hak istimewa atau kesenangan, dengan cara yang tenang namun tegas. Selama proses ini, Anda tidak boleh melabeli anak --misalnya memanggilnya si buruk, malas, jahat, danlain sebagainya.
Tunggu sampai dia tenang, lalu jelaskan mengapa tindakannya tidak dapat diterima. Setelah tenang dan anak bisa menerima penjelasan Anda, ingatkan anak bahwa Anda sangat mencintainya.