Dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan berbagai peristiwa, kejadian ataupun pengalaman. Ada yang menyenangkan, ada pula yang tak menyenangkan.
Hal-hal yang sesuai dengan keinginan kita, tentu sangat menyenangkan dan membuat bahagia. Kita cenderung menyebut ini sebagai takdir yang baik.
Hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita, menjadi sangat tidak menyenangkan, membuat sedih dan sengsara. Kita cenderung menyebut ini sebagai takdir yang buruk.
Misalnya, Toni sangat ingin menikahi Eva, namun ternyata Eva menolak pinangan Toni. Rupanya Eva sudah memiliki calon suami yang sesuai harapannya. Bagi Toni, kejadian ini adalah takdir buruk. Namun bagi Eva, ini adalah takdir baik. Eva menikah dengan lelaki idamannya. Sedangkan Toni tidak bisa menikahi perempuan idamannya.
Benarkah ada takdir yang baik dan takdir yang buruk? Tentang istilah takdir baik dan buruk ini, disebutkan dalam hadits Jibril, wa tu'minu bil qadri khairihi wa syarrihi, "Dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk" (HR. Muslim, no. 8).
Yang disebut sebagai takdir buruk dalam hadits di atas, maknanya adalah buruk dalam pandangan manusia. Namun di sisi Allah, semua takdir adalah baik. Allah tidak menghendaki keburukan kepada hambaNya.
Syaikh Ibnu 'Utsaimin menjelaskan, "Takdir itu tidak ada yang buruk. Yang buruk hanya pada yang ditakdirkan (al-maqdur, yaitu manusia --yang merasakan jelek). Jika dilihat dari perbuatan Allah, semua takdir itu baik".
"Jadi, takdir Allah itu selamanya tidak ada yang jelek. Karena ketetapan takdir itu ada karena rahmat dan hikmah. Kejelekan murni itu hanya muncul dari pelaku kejelekan. Sedangkan Allah itu hanya berbuat baik saja selama-lamanya" (Syaikh Utsaimin dalam Syarh Al-Arba'in An-Nawawiyah).
Ketika Toni tidak bisa menikahi Eva, pada dasarnya ini adalah baik bagi Toni maupun Eva. Bisa jadi, ada keburukan yang tak mereka ketahui, apabila mereka menikah. Maka Allah perjalankan takdir pernikahan mereka sesuai ketetapanNya.
Dalam hadits Anas bin Malik ra, Rasulullah saw telah bersabda, "Aku begitu takjub pada seorang mukmin. Sesungguhnya Allah tidaklah menakdirkan sesuatu untuk seorang mukmin melainkan pasti itulah yang terbaik untuknya" (HR. Ahmad, 3:117. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih).