"After 15 years of covering crime and criminal justice for The New York Times, I was fascinated by studies---conducted in cities across the United States and in London, England, with near-identical results---showing that crime, too, can run in families" (Fox Butterfield, 2018).
Saya masih terus sedih dan miris dengan berita terpanas di tanah air saat ini. Seorang pejabat penting kepolisian yang sedang menjalani proses hukum, bersama istri tercinta.Â
Apakah mereka jahat? Biarlah proses hukum yang menjawabnya. Namun realitasnya, seorang polisi tewas tertembak di rumahnya.
Keprihatinan saya, lebih besar dalam konteks ketahanan keluarga. Bagaimana masa depan dari keluarga sang pejabat? Bagaimana pula dengan keluarga dari para anak buah yang terlibat dalam kasus hukum tersebut?
Kita mulai dari sini: apakah sifat dan perilaku jahat bisa menular dan berkembang dalam sebuah keluarga? Ternyata bisa. Studi telah menunjukkan bahwa kejahatan yang dilakukan orangtua bisa memengaruhi anak untuk melakukan tindakan kejahatan pula.
Selama ini beberapa kalangan dengan mudah menunjuk lingkungan pergaulan sebagai penyebab utama kenakalan pada anak dan remaja. Sebagian lain menyalahkan perkembangan teknologi yang tak terkendali sebagai pemicu kenakalan anak dan remaja.
"Tentu saja, itu adalah nyata. Namun, kehidupan seorang anak dimulai di rumah bersama keluarga. Bahkan sebelum tetangga, teman, atau teman sekelasnya dapat menyesatkan mereka", ungkap Fox Butterfield, jurnalis senior di New York Times.
Kejahatan bukan penyakit keturunan, bukan kutukan, bukan pula penyakit bawaan. Namun kejahatan orangtua bisa memberikan inspirasi dan motivasi bagi anak-anak untuk melakukan kejahatan pula. Kekerasan yang dilakukan orangtua bisa memberikan pengaruh kepada anak-anak untuk menirunya.
Kejahatan yang Dimulai Dari Dalam Keluarga