Syaikhul Islam menjawab, "Wajib bagi seorang suami untuk menjimaki istrinya dengan yang sepatutnya. Bahkan ini termasuk hak istri yang paling ditekankan yang harus ditunaikan oleh suami, lebih daripada memberi makan kepadanya".
"Dan jimak yang wajib (dilakukan oleh suami) sekali setiap empat bulan, dan dikatakan juga sesuai dengan kebutuhan sebagaimana sang suami memberi makan kepada istri sesuai kadar kebutuhannya dan kemampuannya. Inilah pendapat yang paling benar diantara dua pendapat tersebut" (Majmu' Fatawa XXXII/271).
Menurut Ibnu Taimiyah, kebutuhan seksual lebih wajib ditunaikan daripada kewajiban finansial. Mengapa demikian? Jika seorang suami miskin atau tidak mampu mencukupi nafkah material kepada istri, maka sang istri bisa bekerja mencari nafkah. Istri bisa bekerja formal, berdagang, atau berbisnis sehingga mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup berumah tangga.
Bisa pula, sang istri mendapat dukungan finansial dari keluarga besarnya, sehingga kebutuhan nafkah keluarga tetap bisa terpenuhi. Untuk contoh keluarga miskin, bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah maupun lembaga charity untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Namun jika suami tidak mencukupi kebutuhan seksual, seorang istri tidak bisa mendapatkannya dengan cara apapun. Kalaupun dalam situasi terdesak seorang istri terpaksa melakukan masturbasi, maka kepuasan yang dihasilkan tidak pernah serupa dengan hubungan suami istri.
Itulah sebabnya, kewajiban memenuhi kebutuhan biologis istri lebih wajib ditunaikan, karena hanya suami yang bisa melakukannya. Tak ada pihak lain yang boleh menunaikan kewajiban yang satu ini.
Bahan Bacaan
Cahyadi Takariawan, Wonderful Couple, Era Adicitra Intermedia, 2017
Firanda Andirja, Suami Sejati, www.firanda.com, 26 Januari 2011
Markaz Tafsir Riyadh, Tafsir Al-Mukhtashar, www.tafsirweb.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H