Contoh praktisnya seperti ini. Ada mertua perempuan yang berlaku galak kepada menantu perempuannya dan suka mengatur menantu sampai tingkat teknis, mulai dari bagaimana cara menyapu, bagaimana cara mencuci baju, bagaimana cara mengepel lantai, dan lain sebagainya.
Menantu zaman now pasti sangat sebel dengan cara perlakuan seperti itu. Sebagai anak muda, ia merasa diperlakukan seperti anak kecil yang serba diinstruksi. Seakan dirinya dianggap tidak tahu menahu tentang apapun, sehingga harus diintervensi sampai level teknis.
Nah, yang dimaksud empati adalah mertua yang mengerti keadaan menantu tersebut. Bahwa sang menantu tidak suka diperlakukan dengan cara seperti itu. Bisa merasakan suasana sebel yang dialami menantu, bisa merasakan ketersinggungan menantu, lantaran diperlakukan dengan semena-mena.
Pertanyaan yang harus diajukan kepada diri sendiri oleh mertua adalah, "Apakah aku suka diperlakukan seperti itu oleh orang lain? Apakah aku suka diperlakukan seperti anak kecil oleh orang lain?" Jika tidak suka, jangan melakukan tindakan seperti itu kepada menantu.
Maka mertua harus bisa berempati terhadap menantu. Dengan sikap empati ini, mertua akan bisa memperlakukan menantu dengan baik, tidak semena-mena, tidak menganiaya. Siapapun menantunya, pasti akan bahagia memiliki mertua yang sangat mengerti dirinya.
Secara teori, empati bukanlah dimensi tunggal. Empati tersusun atas beberapa dimensi yang saling terajut satu dengan yang lain.
Empati Spiritual
Pertama kali, mertua perlu memiliki empati spiritual, yaitu empati yang bersifat transenden. Mertua mengerti sepenuhnya bahwa perbuatan baik yang ia lakukan selalu dilihat oleh Allah dan akan mendapat balasan kebaikan. Demikian pula perbuatan jahat yang ia lakukan selalu dilihat Allah dan akan mendapat balasan keburukan.
Mertua senang berbuat baik kepada menantu karena meyakini bahwa kebaikan yang ia lakukan akan dibalas Allah dengan pahala.
Ada suasana transenden dan religius yang dimiliki mertua yang melandasi kegiatan hidup sehari-hari.Â