Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

3 Dimensi Sinergi, Saat Anak "Sekolah" di Masa Pandemi

9 Juli 2020   23:35 Diperbarui: 9 Juli 2020   23:31 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: weareteachers.com

Kedua, Flexibility 

Yang dimaksud dengan fleksibilitas adalah keseimbangan antara "chaos" dan "rigidity" (Olson, 2000). Dalam kehidupan keluarga, ada sisi stabilitas, namun ada pula sisi perubahan. Ada hal-hal yang harus statis, namun ada hal yang harus dinamis.

Jika keluarga memiliki aturan yang kaku, tidak bisa berubah, tidak menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi, maka akan terbentuk keluarga yang beku. Suasananya sangat tidak menyenangkan bagi semua anggota keluarga. Semua serba aturan kaku.

Jika keluarga tidak memiliki sesuatu yang dipegangi, semua boleh berubah secara bebas, tak ada norma yang dijadikan pijakan, akan terbentuk keluarga tak beraturan. Semua orang boleh bebas memilih keinginanya sendiri.

Makan keluarga harus mampu menjaga keseimbangan antara hal yang harus tetap dan hal hal yang boleh berubah. Ini yang disebut fleksibel. Justru karena ada hal yang tetap dan ada yang bisa berubah, maka menjadi fleksibel.

Fleksibilitas ini sangat penting dalam menjaga keharmonisan keluarga, mengingat kondisi keluarga selalu berubah dari waktu ke waktu. Tantangan yang dihadapi selalu berubah. Kondisi suami dan istri pun selalu berkembang. Maka harus pandai menjaga sisi stabilitas dan menerima sisi perubahan.

Ketiga, Communication

Komunikasi antara suami dan istri akan terbangun dengan bagus apabila mampu menciptakan keseimbangan antara suasana "engagement" dan "openness to change"  (Olson, 2000). Ada suasana keterlarutan (engagement), namun juga harus ada suasana keterbukaan untuk menerima perubahan.

Terkadang, komunikasi suami dan istri harus mengutamakan aspek rasa. Komunikasi seperti ini berguna untuk membangun kenyamanan hubungan, untuk menguatkan bonding. Maka yang lebih dipentingkan adalah ketersambungan rasa, bukan soal kualitas pembicaraan dan hasil pembicaraan.

Namun, ada kalanya komunikasi suami istri harus berada dalam level "openness to change". Kadang ada adu argumen dan perdebatan, untuk menghasilkan kualitas keputusan yang bagus. Misalnya ketika mendiskusikan soal pendidikan anak, maka model komunikasi harus terbuka.

Olson juga menemukan, bahwa komunikasi dalam keluarga cenderung bercorak linear. Artinya, makin baik komunikasi, makin kuat pula ketahanan keluarga. Ini menjadi dasar memahami urgensi komunikasi untuk menciptakan sinergi suami dan istri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun