Setiap memasuki bulan Ramadan, kita kembali belajar tentang fikih puasa. Salah satu yang menjadi pembahasan fikih Ramadan adalah hal-hal yang membatalkan puasa. Di antara yang membatalkan puasa adalah muntah dengan sengaja. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda,
"Barangsiapa yang muntah tidak sengaja sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qadha' baginya. Apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qadha'." (HR. Abu Daud, no. 2380; Ibnu Majah, no. 1676; Tirmidzi, no. 720. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Selama ini, kita mengenal muntah sebagai mekanisme yang 'tidak diinginkan', seperti misalnya muntah dalam perjalanan yang berkelok-kelok dan naik turun, atau muntah karena 'masuk angin', atau perempuan yang hamil muda disertai respon muntah. Itu semua, termasuk muntah yang tidak disengaja dan tidak diinginkan oleh pelakunya. Maka muntah semacam itu tidak membatalkan puasa.
Pertanyaan yang menggelitik adalah, adakah orang yang muntah dengan sengaja? Mengapa sengaja muntah? Untuk tujuan apa orang yang sengaja muntah? Untuk beberapa kalangan masyarakat zaman modern, bisa jadi muntah sengaja dilakukan untuk mengosongkan perut, agar bisa menghadiri undangan makan malam berikutnya.
Misalnya, pada suatu malam Minggu, ada empat undangan makan malam dari pihak yang berbeda-beda. Demi menghormati mereka semua, sehabis makan malam pertama, langsung memuntahkan isi perut agar segera kosong lagi, sehingga bisa makan malam lagi bersama klien kedua, dan seterusnya. Ini muntah sebagai gaya hidup.
Namun untuk masyarakat zaman dahulu ---terlebih di kalangan orang salih, untuk alasan apa muntah dengan sengaja dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ajak Anda untuk melihat sebuah peristiwa yang terjadi pada Abu Bakar Ash-Shidiq, seorang sahabat Nabi yang terkenal sangat berhati-hati dalam kehidupan.
Putri beliau, A'isyah ra, pernah menuturkan kejadian yang menimpa Abu Bakar. 'Aisyah ra menceritakan bahwa Abu Bakar ra, memiliki seorang budak yang setiap hari membayar setoran --berupa harta atau makanan---dan beliau makan sehari-hari dari setoran tersebut. Suatu hari, budak tersebut membawa sesuatu makanan, dan Abu Bakar ra memakannya. Budak itu berkata, "Apakah Anda mengetahui apa yang Anda makan ini?" Abu Bakar ra balik bertanya, "Makanan ini ---dari mana?"
Budak itu menceritakan, "Dulu di jaman jahiliyah, aku pernah melakukan praktek perdukunan untuk seseorang (yang datang kepadaku), padahal aku tidak bisa melakukannya, dan sungguh aku hanya menipu orang tersebut. Kemudian aku bertemu orang tersebut, lalu dia memberikan (hadiah) kepadaku makanan yang Anda makan ini". Setelah mendengar pengakuan budaknya itu Abu Bakar segera memasukkan jari tangan beliau ke dalam mulut, lalu beliau memuntahkan semua makanan dalam perut beliau". (HR. Bukhari no. 3629)
Inilah salah satu alasan, mengapa ada orang zaman dahulu yang muntah dengan sengaja. Kejadian yang menimpa Abu Bakar ini hanya salah satu contoh kejadian, bahwa muntah dengan sengaja memang perilaku yang benar terjadi. Abu Bakar sangat takut memasukkan ke dalam perutnya makanan yang tidak halal, maka beliau segera memasukkan jari tangan ke dalam mulut ---agar muntah. Sehingga makanan yang beliau yakini sebagai syubhat tersebut bisa keluar semua.
Perilaku beliau, sesuai dengan arahan Nabi saw, agar menjaga diri dari yang syubhat atau belum jelas. Nabi saw  "Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang samar (belum jelas status halal atau haramnya) maka sungguh dia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam hal-hal yang samar tersebut maka berarti dia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram" (HR. Muslim, no 1599).
Level keimanan dan ketaqwaan Abu Bakar ra memang sangat istimewa, maka perilaku yang beliau lakukan telah mengkonfirmasi kepribadian beliau yang luar biasa. Sahabat dekat beliau, 'Umar bin Khattab ra, pernah memberikan penilaian atas kepribadian Abu Bakar, "Seandainya keimanan Abu Bakar ra ditimbang dengan keimanan penduduk bumi (selain para Nabi) maka sungguh keimanan beliau lebih berat dibandingkan keimanan penduduk bumi" (HR. Ishaq bin Rahuyah dalam Musnad no. 1266 dan Baihaqi dalam Syu'abul Iman no. 36).