Bahagia itu sangat sederhana. Kalimat ini sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, untuk menggambarkan bahwa kebahagiaan bukanlah hal rumit.Â
Semua orang berhak bahagia, siapapun mereka. Bukan hanya pejabat yang bisa bahagia, rakyat jelata juga bisa bahagia. Pun, pernyataan ini harus dibalik, biar adil: Bukan hanya rakyat jelata yang bisa bahagia, pejabat juga bisa bahagia.
Seorang kakek penjual tape keliling Kota Yogyakarta, berbahagia karena tapenya sering dibeli oleh pelanggan yang bermobil. Seorang pedagang sayur keliling, berbahagia karena jualannya selalu habis diserbu ibu-ibu perumahan.Â
Seorang atlet berbahagia karena terpilih mengikuti pertandingan bergengsi ---padahal belum tentu ia menjadi juara. Seorang petani yang menanam padi berbahagia karena hujan yang ditunggu akhirnya datang. Seorang petani tembakau berbahagia karena musim hujan sudah selesai dan berganti kemarau.
Hari Kamis pagi pekan lalu, saya dan Om Jon ---Kepala Sekolah ayah Yogyakarta, sempat joging dari ujung Jalan Riau menuju alun-alun Kota Bandung. Sesampai di alun-alun Kota, kami duduk di kursi taman untuk istirahat. Seorang lelaki paruh baya berjalan menghampiri kami. Wajahnya sangat cerah, tampak sangat berbahagia.
"Liburan di Bandung Pak?" tanya lelaki itu kepada kami.
"Iya, Bapak juga sedang liburan?" saya ganti bertanya.
"Iya Pak. Saya dari Kalimantan Timur. Untuk pertama kalinya saya bisa mengunjungi Kota Bandung. Saya sangat berbahagia bisa melihat langsung kota Bandung. Selama ini hanya melihat di TV", katanya. Tampak sangat berbahagia.
Masyaallah, benar kata banyak orang itu. Bahwa bahagia sungguh sangat sederhana. Hanya karena melihat Kota Bandung, ia sudah bahagia. Wajar kalau warga Kota Bandung setiap hari selalu bahagia.
Namun pertanyaannya, yang membuat lelaki tersebut berbahagia, apakah karena melihat Kota Bandung, atau karena pertama kali melihat Kota Bandung? Ini tentu dua hal yang sangat berbeda.