Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Pesan dari Tuhan

29 Mei 2019   13:14 Diperbarui: 29 Mei 2019   13:42 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayah Hardy sudah meninggal dunia. Namun piring hias itu sampai sekarang masih terpasang di tempatnya. Di sebuah rumah cukup luas, di Jerman. Mungkin bahkan si Ayah Hardy tidak pernah tahu makna tulisan yang terpahat di piring hias itu, sampai ia meninggal dunia.

Saya mengamati piring hias itu. Masih sangat rapi terpajang di dinding rumah Hardy. Terpajang di dinding dekat ruang makan. Di sebelahnya ada tungku perapian untuk menghangatkan ruangan pada musim dingin. Sebelahnya lagi ada tumpukan kayu-kayu kering untuk perapian. Sebelahnya lagi ada home theatre. Sebelahnya lagi ada mushaf Al Qur'an berukuran besar yang selalu dalam keadaan terbuka.

Ayah Hardy mendapatkan hadiah piring hias itu saat berkunjung ke Indonesia, pada sebuah acara yang diikutinya. Seseorang telah memberikan hadiah kepadanya, sebelum ia pulang kembali ke Jerman. Sesampai di Jerman, ia buka hadiah itu, yang ternyata berupa sebuah piring hias. Tanpa berpikir panjang, ia pasang begitu saja di dinding rumah sebagai hiasan.

Hardy melihat hiasan itu sejak kecil. Setiap hari, saat di rumah, Hardy melihat hiasan itu. Ada sesuatu yang berbeda bagi Hardy. Itu bukan sekedar hiasan dinding. Itu pasti sebuah pesan, dan ada maknanya. Seperti huruf-huruf yang tersusun, hanya saa waktu itu ia tidak tahu itu huruf apa. Setelah beranjak dewasa, ia semakin penasaran dan tertarik dengan tulisan yang ada di piring hias itu. Semenjak itu, ia gigih berusaha mencari tahu pesan yang tersimpan pada hiasan itu.

Menurut cerita ayahnya, hadiah itu berasal dari Indonesia. Maka Hardy bertekad, bagaimanapun caranya, ia harus ke Indonesia. Langkah pertama yang ia lakukan adalah belaar bahasa Indonesia. Hardy membeli kamus Jerman -- Indonesia, dan mulai belajar melalui buku itiu. Sedikit demi sedikit, ia mulai mengerti bahasa Indonesia, hingga akhirnya ia merasa bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.

Takdir memudahkannya untuk sampai ke Indonesia. Tidak ada tujuan tertentu akan mencari siapa sesampai di Indonesia, namun ia meyakini akan mendapatkan jawaban. Hardy bertanya kepada banyak orang di Indonesia, dan ia mulai tahu bahwa tulisan di piring hias itu berasal dari huruf Arab, yang mencerminkan keyakinan dalam agama Islam. Maka Hardy mulai belajar agama Islam.

Ia mencari dan mencari. Ia bertanya dan terus bertanya. Dari satu kota ke kota lainnya. Dari satu pulau ke pulau lainnya. Ia mulai merasa mendapatkan sebagian jawaban.

Perjalanan panjang pencarian itu menghantarkannya bertemu seorang gadis muslimah, Haryati ---pada sebuah pulau di luar Jawa. Di pulau ini, dikenal penduduknya taat beragama. Hardy mulai berdialog tentang agama dan budaya. Haryati menjawab semampunya. Hubungan mereka semakin dekat, hingga Haryati lebih berani untuk mengajak Hardy masuk Islam.

Masuk Islam, tak pernah terpikir sebelumnya oleh Hardy. Selama ini ia hanya ingin mencari pesan di balik tulsan yang ada di piring hias itu. Maka ajakan Haryati membuatnya limbung. Tak mudah baginya untuk mengambil keputusan.

Setelah berpikir mendalam, dengan berbekal pengetahuan yang dimilikinya dari bertanya dan belajar, Hardy memutuskan untuk bersyahadat. Ia pun masuk Islam.

"Aku tidak banyak mengerti Islam. Kalau nanti aku kembali ke Jerman, tidak ada yang bisa mengaari aku lagi", ujar Hardy. "Maukah engkau menemaniku hidup di Jerman?"

Tinggal di Jerman juga tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Haryati. Tawaran Hardy segera dibicarakan dengan orangtuanya. Ternyata orangtua Haryati tidak keberatan. Demi memantapkan keislaman Hardy, Haryati bersedia menikah dengannya.

Hardy segera datang ke rumah orangtua Haryati, untuk melamar Haryati di kampung halamannya. Mereka pun menikah dengan adat setempat. Setelah menikah, Hardy terus belajar untuk menjadi muslim yang taat.

Beberapa waktu setelah melangsungkan pernikahan, Hardy membawa Haryati tinggal menetap di Jerman. Mereka tinggal di rumah sang ayah, hingga merawat ayah di masa akhir hidupnya. Hardy bekerja di sebuah perusahaan bonafit di Jerman. Hardy rajin menjalankan ibadah shalat lima waktu, puasa Ramadhan, belajar mengaji Al Qur'an, dan memulai gaya hidup sebagai muslim.

Hardy menghindari hal-hal yang dilarang agama Islam, walaupun bagi tradisi masyarakat Eropa hal itu dianggap biasa. Seperti minuman keras, Hardy menjauhinya. Mereka berdua berusaha untuk semakin baik dalam menjalankan ajaran agama Islam.

Rumah yang ditinggali Hardy --peninggalan sang ayah---ada dua lantai. Lantai pertama hak adik lelakinya, sedangkan Hardy dan Haryati menempati lantai atas. Karena adik Hardy bekerja di kota lain, maka tidak menempati rumah itu lagi. Hardy membeli lantai satu itu dari sang adik. Kini rumah itu sepenuhnya milik keluarga Hardy.

Hardy dan Haryati merasa cukup hanya dengan lantai atas saja, maka mereka wakafkan lantai bawah untuk mushalla dan tempat kegiatan masyarakat muslim, terutama Indonesia. Di tempat inilah warga muslim Indonesia berkumpul, membuat pengajian, menyelenggarakan Taman Pnedidikan Al Qur'an untuk anak-anak, melaksanakan kegiatan buka puasa bersama di bulan Ramadhan, shalat tarawih, dan lain sebagainya.

Perjalanan panjang seorang Hardy menjadi muslim yang taat, menghantarkan dirinya untuk mewakafkan bagian bawah rumahnya untuk pusat kegiatan muslim. Subhanallah. Andai rumah itu dijual, tentu sudah amat sangat mahal harganya. Namun mereka memilih amal jariyah, agar pahalanya terus mereka terima sepanjang tempat masih berfungsiuntuk kegiatan keislaman.

Pelajaran Pertama : Hadiah Apa yang Anda Berikan?

Coba kita lacak kembali asal muasalnya. Hidayah adalah hak prerogatif Allah. Hanya Allah yang bisa memberikan hidayah. Namun jika dilacak dari "sebab" kemanusiaannya, kita akan menemukan bahwa semua bermula dari sesuatu yang tampak sepele dan sederhana. Ya semua bermula dari hiasan dinding berupa piring hias bertuliskan lafal Allah, Muhammad dan beberapa nama sahabat Nabi Saw dalam bahasa Arab.

Si pemberi hadiah ini ---wallahu a'lam, siapakah orangnya--- mungkin saja tidak tahu bahwa hadiah tersebut membuat seorang Hardy masuk Islam. Ayah Hardy yang menerima hadiah tersebut, namun Hardy yang mendapatkan hidayah. Mungkin juga si pemberi hadiah tidak memiliki maksud lain, kecuali memberi kenang-kenangan, dengan sesuatu yang bermanfaat. Namun ternyata, pilihannya tepat. Memberikan hadiah yang bisa memberikan pesan kebaikan.

Ini pelajaran penting bagi kita semuanya. Tidak ada yang tahu, pintu hidayah bermula dari mana. Tidak ada yang tahu, dengan lantaran apa seseorang bisa mendapatkan pencerahan. Hanya Allah sang pemilik hidayah. Maka ketika memberi hadiah kepada siapapun, lakukan dengan ikhlas karena Allah.

Jangan sekedar hadiah, jangan hanya asal "khas daerah", namun harus ada tambahan "memiliki pesan kebaikan". Karena ternyata itu bisa menjadi salah satu pintu pembuka hadirnya hidayah Allah bagi penerima hadiah, atau keluarganya, atau orang lainnya.

Sudahkah anda memberi hadiah hari ini? Apakah hadiah itu memiliki pesan kebaikan?

Pelajaran Kedua : Apa yang Anda Tempelkan di Dinding Rumah Anda? 

Keputusan ayah Hardy untuk menempelkan piring hias itu di dinding rumahnya, ternyata menjadi jalan kebaikan bagi Hardy. Seandainya hadiah itu tidak dipajang, hanya disimpan dalam almari saja, tentu tidak akan membuat Hardy penasaran. Namun karena piring hias itu terpajang di dalam rumah, maka setiap hari Hardy melihat dan mengamati. Dari situlah ketertarikan terjadi.

Maka jangan menyepelekan apa yang anda pasang di dinding rumah anda. Belajar dari kisah Hardy, maka jangan pernah memasang hiasan apapun di dinding rumah anda, keculai yang memiliki pesan kebaikan. Semua benda yang terpajang di rumah anda, selalu memiliki makna.

Jika memasang kaligrafi ayat atau hadits Nabi Saw, akan memberikan pesan spiritual bagi semua anggota keluarga. Jika suka memajang gambar artis, akan memberikan pesan tertentu pada semua anggota keluarga. Demikian pula jika ada yang suka memajang foto perempuan telanjang ---yang menjadi bagian dari sebuah kalender, misalnya--- pasti akan memberikan pesan yang sangat berbeda.

Pajangan itu pesan. Maka jangan pernah berpesan kejahatan, jangan pernah berpesan kemaksiatan. Berikan pesan hanya untuk kebaikan, karena semua pesan akan sampai. Semua pesan akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda.

Catatan

  • Kisah di atas saya narasikan dan saya tulis dari cerita yang saya dapatkan langsung dari pasangan suami istri Hardy -- Haryati, di rumah mereka di Jerman. Tiga malam saya menginap di lantai dua rumah mereka.
  • Hardy dan Haryati, nama yang saya samarkan. Bukan nama aslinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun